Jumat, 20 Juli 2012

Kita Bukan Badan. Demikian Pula, Kita Bukan Pikiran

Kita merasa memiliki free will (kebebasan memilih, atau kebebasan bertindak, atau kemampuan untuk bertindak secara tersendiri secara bebas tanpa pembatasan oleh faktor lain) jika kita tidak merenungkan dalam-dalam tentang bagaimana proses kerja pikiran, jika kita tidak mencermati bagaimana pemikiran-pemikiran timbul/tercipta, bagaimana proses terwujudnya ingatan, dsb. Karena itu kebanyakan orang akan dengan sangat mudah sekali menerima jika dikatakan bahwa mereka memiliki free will. Mereka tidak mampu membayangkan bagaimana mungkin seseorang tidak memiliki free will.

Walaupun secara langsung bertentangan dengan apa yang dinyatakan oleh shastra, namun karena nampak seolah bahwa kita memiliki kendali atas pikiran dan badan kita, sangat mudah kemudian untuk mengesampingkan apa yang telah dinyatakan dengan gamblang oleh shastra dengan menganggapnya sebagai sebuah pernyataan yang belum terjelaskan, misterius, atau tidak nyata. (Beberapa di antara pernyataan-pernyataan tersebut dapat dibaca dalam artikel: KARMA) Orang hanya tidak terbiasa dengan gagasan bahwa diri mereka tidak memiliki kendali atas proses berpikir mereka, ditambah lagi adanya banyak ulasan atas shastra yang menekankan agar kita hendaknya berusaha mengendalikan pikiran. Secara umum shastra mengajarkan hal yang berbeda-beda untuk orang dengan level keinsafan yang berbeda-beda.

Contohnya adalah di dalam Bhagavad-gita dimana pada bagian-bagian awal Krishna menganjurkan untuk berusaha mengendalikan pikiran, kemudian berikutnya Krishna menyatakan bahwa sesungguhnya Dialah yang mengendalikan dari dalam. Anjuran awal dimaksudkan untuk membantu orang-orang yang perlu memisahkan diri mereka dari kesan/rasa penyamaan diri dengan pikiran. Krishna mengarahkan agar kita mengerti bahwa diri kita berbeda dengan pikiran kita (kita bukan badan, demikian pula kita bukan pikiran) dengan memberitahu kita agar mengamati pikiran dan berusaha mengendalikan pikiran dalam meditasi/pemusatan pikiran.

Seiring dengan kemajuan kita, kemampuan kita untuk mengerti kebenaran-kebenaran yang lebih kompleks meningkat, sehingga shastra menyediakan ajaran-ajaran tingkat lebih lanjut untuk kita. Sudah merupakan hal yang lumrah dalam ajaran-ajaran spiritual Veda untuk kadangkala berbicara tentang kebenaran-kebenaran yang berkedudukan relatif lebih rendah untuk mengantarkan seseorang secara bertahap menuju kebenaran yang lebih tinggi ataupun kebenaran mutlak. Bab 6 Bhagavad-gita adalah contoh yang sempurna. Krishna berbicara tentang belajar untuk memisahkan sang diri dari pikiran melalui meditasi/pemusatan pikiran.
Kita cenderung menyamakan diri kita dengan pikiran, menganggap pikiran adalah diri kita, sebelum kita mencapai suatu tingkat kemajuan tertentu dalam pemahaman spiritual. Oleh karena itulah Krishna menyampaikan ajaran-ajaran untuk bagaimana memisahkan sang diri dari kecenderungan untuk menyamakan diri dengan pikiran, dengan menggunakan konsep yang kita yakini sebagai kebenaran—yakni bahwa kita mampu mengendalikan pikiran kita.

Oleh karena orang telah begitu terkondisi/terikat sejak lahir untuk menyamakan dirinya dengan pikiran, mereka perlu untuk secara bertahap belajar bagaimana memisahkan diri mereka dari kecenderungan tersebut untuk bisa mencapai keinsafan diri dan mencapai kesadaran Tuhan. Satu cara untuk melakukannya adalah dengan memberitahu mereka agar berusaha mengendalikan pikiran, untuk memantapkannya, untuk berusaha memusatkannya. Tipe ajaran yang seperti ini membantu orang untuk memisahkan dirinya dari kecenderungan menyamakan diri dengan pikiran, untuk melihat pikiran sebagai sesuatu yang berbeda dan terpisah dengan diri sejati mereka sendiri, sebagai sesuatu yang harus diamati. Itulah maksud sebenarnya dari ajaran-ajaran yang demikian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar