Kamis, 11 Juli 2013

Hanya Akan Menjadi Sarana Perdebatan Yang Tak Berujung

Ketika dijelaskan bahwa Krishna adalah "nirguna" atau "nirakara", yang sedang dijelaskan adalah tentang apa-apa yang bukan Krishna, atau sifat/keadaan yang bukan Krishna. Jadi dapat dikatakan bahwa ini adalah cara persepsi yang negatif, atau menegasikan, yakni dengan mengemukakan apa yang bukan. Sebagai sekedar kata-kata, kesimpulan seperti ini sesungguhnya adalah tidak sejati.

Demikian pula sebaliknya. Pendekatan positif dengan menyatakan bahwa Krishna adalah “anandamaya” atau "saguna", yakni penuh dengan sifat-sifat rohani seperti kebahagiaan kekekalan, dsb., bila hanya pada tataran kata-kata sesungguhnya itu sama tidak sejatinya dengan yang sebelumnya.

Mengapa demikian? Karena bila hanya sekedar kata-kata maka realitas yang sejati masih belum dijangkau. Ananda, atau kebahagiaan, akan dipahami berbeda-beda oleh orang dengan tingkat kesadaran yang berbeda-beda. Secara umum orang akan memaknai kebahagiaan itu sebagai kepuasan, atau kenikmatan, yang terjadi dari kontak indera-indera dengan obyek-obyek indera. Itu tentu bukanlah ananda. Maka sesungguhnya kebanyakan orang belum akan mampu mengerti dengan benar apa ananda itu. Dalam keadaan demikian, jika kita membicarakan Krishna sebagai sumber kebahagiaan atau "anandamaya", maka orang akan memaknainya keliru yakni ke arah kepuasan kasar indera-indera jasmani. Akibatnya, terjadilah materialisasi hal-hal spiritual, atau pemaknaan yang dangkal terhadap realitas spiritual, dan ini banyak terjadi bahkan juga di kalangan para penyembah/Vaishnava yang masih pemula. 

Hal yang serupa terjadi pula pada cara persepsi negatif. Pemaknaan yang keliru terhadap negasi atau "hal-hal yang bukan" akan mengantarkan pada kehampaan atau kekosongan yang dangkal, yang terasa hambar dan banyak dapat kita temukan pada filsafat para penekun Upanisad pemula. 

Akar permasalahan dari kedua sisi kelompok pemahaman ini adalah kekeliruan menganggap konsep sebagai realitas sejati. Konsep-konsep pada tataran pikiran dan kecerdasan dianggap sebagai kesejatian, atau disamakan dengan kebenaran/realitas tertinggi yang sejati.

Ketika realitas yang sejati telah benar-benar dicapai dan dialami, penyebutan Kebenaran Mutlak itu sebagai Krishna, Brahman, Paramatma, Allah, Sang Hyang Widhi, dll., baru akan bermuatan makna yang sejati, yang berbeda dengan pemaknaan orang-orang yang masih pada tataran konsep-konsep intelektual. Seseorang baru akan benar-benar mengerti dan menginsafi bagaimana Kebenaran Mutlak adalah "nirguna" atau "nirakara" tetapi sama sekali bukan hampa atau kosong, dan demikian pula bagaimana Kebenaran Mutlak adalah "anandamaya", namun sama sekali bukan sekedar kepuasan atau kenikmatan dangkal.

Sebelum pengetahuan sejati dan pengalaman keinsafan-langsung benar-benar diperoleh, kita masih akan berada pada tataran non-realitas, tidak memandang betapa pun canggih dan rumit serta tingginya konsep-konsep yang kita pegang. Maka pada tataran konsep pemahaman intelektual, para pemula akan terus saja berbeda pendapat dan saling memandang rendah.

Para penekun Upanisad
memandang remeh para Vaishnava atas konsep kekongkritan Kebenaran Mutlak yang berupa nama, bentuk, sifat dan kegiatan Kebenaran mutlak, yang dianut oleh para Vaishnava, demikian pula para Vaishnava memandang remeh para penekun Upanisad dengan menganggapnya hambar, hampa, kosong, kering.

Semua konsep tersebut hanyalah ibaratnya jubah-jubah luar yang berbeda-beda. Sebelum kita benar-benar menjangkau Realitas Sejati, dan mendekatinya melalui pengalaman-langsung, semua konsep itu hanya akan menjadi sarana perdebatan, sarana perselisihan, yang tak berujung.


Apakah sesungguhnya yang dimaksudkan oleh para Rishi ketika mereka menyebut Dia "nirakara"? Apakah yang sesungguhnya dimaksudkan oleh Sang Buddha ketika menyebut Dia "anatman"? Apakah sesungguhnya yang dimaksudkan oleh para Vaisnava ketika menyebut Dia akhila-rasamrita murti? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini dapat ditemukan dalam ranah pengalaman, tidak bisa semata-mata pada ranah dialektika/argumentasi logika. Ketika cahaya keinsafan melalui pengalaman-langsung terpancar dan mengisi/memuati konsep-konsep yang hampa itu, maka baru penerimaan atau pemahaman mengalir masuk bagaikan lautan dan kita dapat mengetahui dengan sesungguhnya mengapa istilah-istilah tersebut di atas digunakan.