Rabu, 09 November 2011

Kesamaan dan Perbedaan

Tanya: Bhagavan maupun jiva disebutkan sebagai yang berkesadaran (caitanya), lalu apakah perbedaan di antara keduanya adalah nyata atau imajiner? 

Jawab: Kesadaran Bhagavan mahameluas/meliputi segalanya (vibhu-caitanya), dan kesadaran jiva sangatlah kecil (anu-caitanya). Perbedaan di antara keduanya ini tidaklah imajiner, melainkan faktual. Bhagavan adalah Penguasa dari maya-sakti-Nya Sendiri, sedangkan jiva tunduk kepada maya-sakti.

Tanya: Ada berapa jenis bheda (perbedaan)?

Jawab: Ada dua jenis bheda: vyavaharika (terkait dengan perilaku) dan tattvika (terkait dengan kebenaran).

Tanya: Apa itu vyahavarika-bheda?

Jawab: Vyahavarika-bheda diilustrasikan dalam perbedaan antara kendi tanah liat dan selembar kain. Nampak seolah keduanya adalah benda yang berbeda, namun keduanya berasal dari benda yang sama—tanah. Dalam keadaan aslinya sebagai tanah, tidak ada perbedaan di antara keduanya (kendi dan kain). Jenis perbedaan yang seperti ini disebut vyavaharika-bheda.

Tanya: Apa itu tattvika-bheda?

Jawab: Tattvika-bheda adalah ketika suatu benda berbeda dengan benda lain dalam hal fungsi maupun penyebab awalnya. Jenis perbedaan ini disebut tattvika-bheda.

Tanya: Perbedaan antara jiva dan Bhagavan apakah vyavaharika atau tattvika?

Jawab: Tattvika.

Tanya: Mengapa demikian?

Jawab: Karena dalam keadaan mana pun jiva tidak akan pernah bisa menjadi Bhagavan.

Tanya: Lalu bagaimana kita memahami pernyataan-pernyataan agung (maha-vakya) di dalam kitab-kitab suci seperti misalnya tat-tvam-asi (Engkau adalah Itu)?

Jawab: Resi agung Svetaketu menerima ajaran berikut: “Engkau adalah roh; engkau lahir bukan dari zat, melainkan dari kesadaran (caitanya). Dari ajaran ini hendaknya jangan pernah dipahami bahwa engkau adalah kesadaran mahameluas/meliputi segalanya yang tertinggi (vibhu-caitanya) itu.”

Tanya: Lalu apakah pernyataan-pernyataan kitab suci yang terkait dengan kebersatuan jiva dengan cahaya Brahman yang mahameluas itu tidak berlaku?

Jawab: Dari sudut pandang sang jiva, perbedaan di antara keduanya (bheda) adalah kekal; dan dari sudut pandang Brahman, kesamaan di antara keduanya adalah kekal. Karena itu, perbedaan dan kesamaan (bheda dan abheda) keduanya adalah kekal dan benar.

Tanya: Bagaimana kita memahami kesimpulan yang kontradiktif ini?

Jawab: Dengan adanya potensi Tuhan yang tak terjangkau pikiran (acintya-sakti), segala kebenaran yang kontradiktif ini eksis dalam keharmonisan yang sempurna; namun jiva yang berukuran kecil itu, yang memiliki kecerdasan yang sangat terbatas, menganggap bahwa keharmonisan itu mustahil.

Tanya: Lalu mengapa kemudian kita selalu mendengar bahwa filosofi kesamaan selalu dipersalahkan?

Jawab: Sebab mereka yang mengemukakan filosofi kesamaan itu menyatakan bahwa perbedaan itu juga kekal, dan dengan membuktikan hal ini, mereka telah memastikan secara benar kebenaran dari acintya-bhedabheda (kesamaan dan perbedaan secara bersamaan) yang tak dapat diragukan itu. Orang yang mengajarkan filsafat bhedabheda adalah tanpa kesalahan, sedangkan orang yang hanya mengemukakan bheda ataupun hanya abheda saja dipersalahkan sebab mereka bersikukuh dengan kebenaran yang hanya dari satu sisi saja.


Kutipan dari Vaishnava Siddhanta Mala, Bab Lima
Karya Srila Bhaktivinoda Thakur

Rabu, 21 September 2011

Energi dan Sumber/Pemilik Energi

Tuhan tidaklah menyisih/berada terpisah dari dunia ini. Karma hanyalah salah satu aspek dunia ini, dimana Tuhan terlibat secara dekat sekali dalam segala aspek dunia kita. Barangkali alam bekerja menurut hukum-hukum, namun segala sesuatu yang berlangsung di alam terliputi oleh Tuhan, tersusun atas Tuhan, dan dikendalikan oleh Tuhan. Karma tidaklah bekerja secara otomatis ibarat mesin yang bekerja dengan sendirinya, melainkan ia membutuhkan sebuah kesadaran dan kendali untuk membuatnya berfungsi pada setiap detik.

Di dalam karya yang berjudul Jaiva Dharma, Srila Bhaktivinoda Thakura menyatakan bahwa Krishna adalah shaktiman maupun shakti, yakni bahwa Tuhan adalah energi dan juga pengendali dari energi yang sama itu sendiri, dan bahwa shakti tidak bisa ada tanpa shaktiman sebab shakti dan shaktiman adalah satu substansi—manakala ada shakti maka di sana ada shaktiman. Aspek pengendalian Tuhan tidak dapat dipisahkan dengan aspek energi Tuhan. Analogi yang sering digunakan di dalam Vedanta adalah api: tidak mungkin ada api yang tanpa disertai panas dan cahaya. Api itu sendiri adalah aspek yang mengendalikan sementara panas dan cahaya adalah aspek energi dari api itu.

Apa yang hendak dikemukakan oleh Srila Bhaktivinoda Thakura adalah bahwa setiap gerakan kita dan setiap pemikiran kita adalah bergantung pada kemampuan Tuhan untuk melakukannya bagi kita sebab kita tidak memiliki kemampuan bawaan untuk melakukan apa pun dengan kekuatan kita sendiri. Shaktiman adalah pemilik shakti, atau aspek yang mengendalikan shakti tersebut. Beliau menggunakan analogi tentang seseorang yang menggerakkan badannya, untuk mengajarkan tentang sifat dari shaktiman dan shakti: badan diibaratkan sebagai shakti, atau energi; dan pribadi yang berada di dalam badan dibaratkan sebagai shaktiman, atau pengendali energi tersebut. Ketika badan bergerak kita tidak akan berkata "badan orang itu bergerak" melainkan kita akan berkata "orang itu bergerak."

Alam ini berfungsi layaknya sebuah mesin, namun cara berfungsinya adalah layaknya bagaimana sebuah mobil berfungsi—yakni bahwa ia memerlukan seorang pengemudi, atau seseorang yang mengendalikannya. Visvanatha Chakravarti Thakura mengibaratkan kita sebagai wayang:

"Kitab-kitab Sruti juga menyatakan: 'Sri Narayana meliputi segala yang dilihat dan didengar di jagat raya ini, segala yang ada di dalam maupun di luarnya.' Dari pernyataan Veda ini ditegakkan bahwa Isvara (Tuhan) berada di hati sebagai Antaryami. Apa yang Dia lakukan di sana? Menjawab pertanyaan ini, Sri Bhagavan bersabda, 'Dia membuat semua jiva mengembara di dunia material ini melalui maya-sakti-Nya, menyibukkan mereka dalam berbagai kegiatan.' Seperti halnya seorang dalang menggerakkan wayang-wayang, demikian pula maya mengendalikan semua jiva dengan cara yang khusus dan tertentu.

Maya-shakti tidak berfungsi sebagai sebuah kesadaran yang terpisah dari Krishna: maya adalah energi, Krishna adalah kesadaran yang mengendalikan energi tersebut. Contoh yang digunakan oleh Bhaktivinoda Thakura dapat kembali digunakan yakni tentang seseorang dan badannya. Mungkin kita mengatakan bahwa badan sedang bergerak, namun sesungguhnya yang kita maksud adalah bahwa orang itulah yang sedang menggerakkan badannya, dan badan tidaklah merupakan sesuatu yang bisa bergerak dengan sendirinya. Demikian pula, sebagaimana Bhaktivinoda Thakura menyatakan, shakti tidak bisa bergerak ataupun melakukan segala sesuatu tanpa adanya kekuatan yang menggerakkannya. Shakti tidak memiliki kebebasan tersendiri yang terpisah dari Krishna. Krishna adalah kehendak yang menggerakkan tersebut, aspek pengendali yang inheren berada dalam shakti tersebut.

Senin, 19 September 2011

Masih Tentang Karma

Sekali lagi, karma bukanlah soal penghukuman atau pemberian balasan imbalan, sebagaimana yang sering dibayangkan dan diajarkan. Karma adalah soal evolusi kesadaran. Rasa sakit/derita adalah sesuatu yang terpatri dengan kuat di dalam kesadaran kita, dan memori-memori yang menyakitkan adalah ingatan yg paling jelas terpatri. Kita perlu belajar untuk menjadi penuh welas asih dan bersikap mencintai, sifat-sifat yang tidak dengan sendirinya ada pada diri kita sejak lahir. Kita lahir dalam keadaan 'kosong', layaknya selembar kertas putih yang belum terisi goresan, atau layaknya segumpal tanah liat yang belum dibentuk yang memiliki potensi untuk dibentuk menjadi sebuah karya seni yang sangat indah. Penderitaan yang kita alami menyebabkan berkembangnya rasa empati dan welas asih yang mendalam. Plus, segala yang kita lihat di dunia ini seringkali tidak se-sejati apa yang nampak melalui penglihatan atau pengamatan sepintas kita. Ada banyak hal yang berlangsung yang tidak se-sejati yang barangkali kita kira, dan segalanya tersebut akan terungkap bagi kita seiring berjalannya waktu, seiring dengan makin tereksposnya kita dengan pengetahuan tentang realitas sejati dunia ini.


Kita perlu melalui sebuah proses pembelajaran untuk bisa hidup pada level keberadaan yang tertinggi untuk selamanya. Kita harus yakin bahwa Tuhan mengetahui apa yang terbaik untuk kita. Penderitaan menyebabkan kita belajar. Jika saya menjulurkan tangan saya ke dalam api maka saya akan menderita kepanasan, dan dari pengalaman tersebut saya menjadi tau untuk tidak lagi menjulurkan tangan ke dalam api. Tidaklah mungkin untuk menjelaskan secara terperinci alasan ilmiah yang digunakan oleh Tuhan untuk menempatkan kita dalam segala yang kita alami dalam keberadaan hidup kita. Hanya Tuhan yang bisa menjelaskan hal itu, namun demikian kita pun tidak akan mampu memahaminya sebab itu akan bagaikan berusaha menjelaskan sains tentang sebuah roket terhadap seorang anak kecil. Cukup dimengerti bahwa kita beruntung telah hidup saat ini dan menyadari keberadaan kita, dan dengan mempraktikkan bhakti yoga kita dapat menginsafi hubungan kekal kita dengan Tuhan, dan kemudian memasuki kehidupan kekal yang penuh kebahagiaan.

Minggu, 18 September 2011

Veda

Mungkin Veda itu seperti ini ya, kalau dijadikan satu buku... Hehehe... :D

Jumat, 16 September 2011

Kejahatan dan Hal Sejenisnya

Tanya: Jika segalanya adalah kehendak Tuhan, apakah berbagai tindak kejahatan juga disebabkan oleh Tuhan? Atau, lebih spesifiknya, benarkah tindak kejahatan dan hal sejenisnya itu terjadi karena individu yang melakukannya tersebut telah menyalahgunakan kebebasan yang dimilikinya utk bertindak?


Jawab: Jika dikatakan bahwa orang yang berbuat kejahatan dan hal sejenisnya itu telah menyalahgunakan kebebasannya utk bertindak, maka, dapatkah Anda sekarang, ya, Anda, pembaca Blog ini, memutuskan/bebas memilih untuk melakukan tindak kejahatan dan kemudian sukses sampai tindak kejahatan itu terjadi? Tidak sesederhana itu, bukan? Sebab bahkan jika Anda memilih/memutuskan untuk melakukan tindak kejahatan, ada seribu satu hal yg bisa menghalangi tindak kejahatan itu terwujud/benar-benar terjadi. Dan sebaliknya, bahkan jika Anda tidak memilih/memutuskan utk melakukan tindak kejahatan atau setidaknya suatu tindakan yang tidak patut, seringkali tetap saja terjadi dimana Anda berujung telah melakukan hal yang tidak sepatutnya tersebut. Jadi, setidaknya dapat dipahami bahwa bukan kebebasan untuk memilih/bertindak pada diri individu itu yang menyebabkan terjadinya suatu tindak kejahatan dan hal sejenisnya.

Rabu, 14 September 2011

Tuhan yg Ada di dalam Diri Kita

Kita tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan pemikiran-pemikiran kita sendiri. Kita bergantung kepada Tuhan (Paramatma) yang memberi kita semua ingatan dari waktu ke waktu, yang kita perlukan untuk memahami segala sesuatunya, dan kita juga bergantung kepada Paramatma untuk melakukan tindakan fisik yang sebenarnya dalam menciptakan pemikiran-pemikiran. Kita sama sekali tidak memiliki gagasan bagaimana melakukan hal itu, sebab diperlukan kemampuan setara komputer untuk bisa melakukan tindakan fisik untuk menciptakan pemikiran-pemikiran.

Tahukah Anda seberapa banyak software dan daya komputasi yang diperlukan oleh sebuah komputer untuk berdialog dengan penggunanya (manusia)? Komputer itu harus mengakses kamus, instruksi grammar, instruksi komputasi, instruksi bahasa, instruksi suara, instruksi pendengaran, dan masih banyak lagi. Dan untuk bisa berdialog/berbicara dengan kita sebagaimana kita berbicara dengan sesama manusia, komputer harus melakukan semua hal tersebut dalam hitungan kurang dari sedetik. Bagaimanakah sesungguhnya sehingga kita bisa menciptakan pemikiran-pemikiran yang selaras dan dapat memahami serta berpikir atau berbicara secepat yang biasa kita lakukan, dengan mutlak tanpa usaha sedikit pun dalam memahami dan menciptakan pemikiran-pemikiran dan kata-kata? Semua itu bagaikan sebuah kekuatan gaib—dimana kekuatan gaib didefinisikan sebagai sebuah efek yang tanpa penyebab yang jelas. Kita bukanlah penyebab bagi apa yang kita alami.

Hanya karena pemikiran-pemikiran mengalir di dalam pikiran kita tidak berarti bahwa diri kitalah sumber dari pemikiran-pemikiran tersebut atau sumber dari pemahaman terhadap kata-kata, bahasa, tata bahasa dan konsep-konsep. Bahkan, tahukah Anda bagaimana caranya menciptakan sebuah pemikiran? Dapatkan Anda menjelaskan bagaimana Anda menciptakan atau mengendalikan sebuah pemikiran? Pemikiran-pemikiran tersebut mengalir begitu saja di dalam pikiran kita tanpa kita sendiri berbuat apa pun dalam hal menciptakan pemikiran-pemikiran tersebut. Tidak ada yang lain selain Tuhan yang mengetahui bagaimana menciptakan pemikiran. Anda hanya bisa mengalami adanya pemikiran-pemikiran tersebut sambil Paramatma mengizinkan Anda berpikir bhw diri Anda lah yang sedang mengendalikan dan secara gaib sedang menciptakan pemikiran-pemikiran tersebut — itu semua sampai Anda siap untuk keadaan kesadaran-diri, maka Paramatma mulai mengungkap sifat sejati pikiran sebagai paramatma-antaryami — yakni Tuhan yang ada di dalam diri kita:

Śrīmad Bhāgavatam 3.26.28:

yad vidur hy aniruddhākhyaḿ
hṛṣīkāṇām adhīśvaram
śāradendīvara-śyāmaḿ
saḿrādhyaḿ yogibhiḥ śanaiḥ


Pikiran makhluk hidup dikenal dengan nama Sri Aniruddha, pengendali tertinggi indera-indera. Dia memiliki wujud berwarna hitam kebiru-biruan bagaikan sekuntum bunga padma yang mekar pada musim gugur. Dia ditemukan secara perlahan-lahan oleh para yogi. (Aniruddha adalah nama lain Paramatma)

Bhagavad-gita 15.15:

sarvasya cāhaḿ hṛdi sanniviṣṭo
mattaḥ smṛtir jñānam apohanaḿ ca

Aku bersemayam di dalam hati setiap makhluk. Ingatan, pengetahuan dan pelupaan berasal dariku…



Selasa, 13 September 2011

Kesan Yg Engkau Ciptakan

"Telah kupelajari bhw orang akan lupa pada apa yg pernah engkau katakan, orang akan lupa pada apa yg pernah engkau kerjakan, tapi orang tidak akan pernah lupa pada kesan yg telah engkau ciptakan tentang dirimu."

Pengetahuan Tertinggi

Pengetahuan yg memberi kita kemampuan utk mencintai Yang Mutlak adalah pengetahuan tertinggi. Cinta yg demikian begitu mulianya sehingga Tuhan sendiri tunduk kepadanya. Dengan tercapainya cinta tersebut, akan memuaskan Yang Mutlak sepenuhnya. Sementara kebanyakan org memberi perhatian utk mencapai kepuasan melalui Yang Mutlak,Srimad-Bhagavatam (Bhagavata Purana) mengajukan kebalikannya: sebuah jalan yg tujuannya adalah utk memuaskan Yang Mutlak secara menyeluruh. Kepuasan Yang Mutlak ini dimungkinkan melalui sikap tak mementingkan diri sama sekali dalam jalan cinta kasih rohani...

Kaku VS Luwes

Manusia terlahir lembut dan luwes; dalam keadaan mati, mereka kaku dan keras. Tumbuh-tumbuhan terlahir lunak dan fleksibel; dalam keadaan mati, mereka rapuh dan kering. Dengan demikian, siapa pun yang kaku dan tidak fleksibel adalah murid kematian. Siapa pun yang lembut dan fleksibel adalah murid kehidupan. Yang keras dan kaku akan patah. Yangg lembut dan luwes akan bertahan..."


Luwes/lembut mengisyaratkan 'mengalir', tidak kental bermuatan ego dengan merasa sebagai pelaku yang bisa mengatur sesuai kehendak kita, karena segalanya berjalan bukan atas kehendak kita.


Kata-kata yang seperti ini adalah berada pada tataran filosofis dari sesuatu, atau tataran paling mendasar dari realitas, sehingga ia berlaku universal pada hal apa pun, asalkan kita bisa memandang sesuatu pada tataran paling mendasarnya dan kemudian menghubungkan sesuatu itu dgn kata2 filosofis seperti ini.
Misalnya luwes terhadap berbagai prinsip/aturan yang kita kenal dalam jalan spiritual kita masing-masing. Kita bisa luwes terhadap prinsip hanya jika kita telah mengerti dengan baik tentang prinsip itu sendiri, apa maksud dan tujuan tertingginya, bagaimana asal mula keberadaan prinsip itu, dan lain sebagainya. Dengan pengetahuan yang cukup tentang hal-hal seperti ini terhadap prinsip tersebut, maka kita akan bisa melihat dengan lebih luas, tidak hitam-putih lagi melainkan mulai nampak wilayah abu-abu, atau melihat keadaan relatif dari segala sesuatunya, dan bisa menyesuaikan dengan realitas nyata yang kita hadapi per detiknya, tidak terpaku pada satu pemahaman tentang penerapan prinsip tersebut.
Tentunya selain pengetahuan dibutuhkan integritas pribadi, atau kejujuran terhadap diri sendiri, ketika hendak menerapkan filosofi luwes ini dan sesungguhnya ketika menerapkan filosofi apa pun juga kan.

Karma

Karma bukanlah soal penghukuman, melainkan adalah soal peningkatan kesadaran kita. Apa yg kita alami, suka ataupun duka, adalah apa yg Tuhan kehendaki sebagai sesuatu yg perlu kita alami untuk mencapai peningkatan. Bagi org yg berada pada level pemahaman/keinsafan yg lbh rendah, karma tersaji sebagai aksi/reaksi. Namun ketika mereka mengerti kenyataan dimana Tuhan juga mengajarkan bhw Dia mengendalikan segala sesuatu dan semua makhluk sepenuhnya, dan telah mulai menginsafi ajaran tersebut, maka karma terungkap sebagai sesuatu yg berbeda, yakni bahwa karma tersebut bukan berlandaskan pada aksi/reaksi, melainkan berlandaskan pada apa yg dikehendaki Tuhan sebagai sesuatu yg perlu kita alami untuk mencapai peningkatan menuju level2 kesadaran yg lebih tinggi...


Ayat-ayat Bhagavad-gita dimana Sri Krishna mengajarkan tt bgmn Dia mengendalikan segala sesuatu dan semua makhluk sepenuhnya:


Sang roh yang dibingungkan oleh pengaruh keakuan palsu menganggap dirinya pelaku kegiatan yang sebenarnya dilakukan oleh tiga sifat alam material. (Bg. 3.27)

Alam material ini, salah satu di antara tenaga-tenaga-Ku, bekerja di bawah perintah-Ku, dan menghasilkan semua makhluk baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, wahai putera Kunti. Di bawah hukum-hukum alam material, manifestasi ini diciptakan dan dilebur berulangkali. (Bg. 9.10)

Orang yang dapat melihat bahwa segala kegiatan dilaksanakan oleh badan, yang diciptakan oleh alam material, dan melihat bahwa sang diri tidak melakukan apa pun, melihat dengan sebenarnya. (Bg. 13.30)

Akibat khayalan, engkau sekarang menolak bertindak menurut perintah-Ku. Tetapi didorong oleh pekerjaan yang dilahirkan dari sifatmu sendiri, engkau akan bertindak juga, wahai putera Kunti. (Bg. 18.60)

Tuhan Yang Maha Esa bersemayam di dalam hati semua orang, wahai Arjuna, dan Beliau mengarahkan pengembaraan semua makhluk hidup, yang duduk seolah-olah pada sebuah mesin terbuat dari tenaga material. (18.61)