Alkisah seorang yang beriman sedang terjebak banjir yang
terus semakin meninggi. Ia memilih untuk terus bertahan di rumahnya, sementara
orang lain berhamburan menyelamatkan diri. Ia naik ke loteng rumahnya seiring
makin meningginya banjir, sambil berpengharapan bahwa Tuhan pasti akan menyelamatkan
dirinya karena merasa dirinya sebagai orang yang sepanjang hidupnya taat
menjalankan perintah-perintah Tuhan. Tim penyelamatan banjir mulai mengirimkan
perahu untuk menjemput orang beriman itu ke tempat aman, namun ia menolaknya
sambil terus berpikir bahwa Tuhan lah yang akan menyelamatkan dirinya. Sampai
tiga kali perahu datang menjemput namun ia masih lebih memilih untuk bertahan
di loteng rumahnya sampai akhirnya tinggi banjir menyapu loteng rumahnya dan
hanyutlah dia. Setelah meninggal dunia, dikisahkan bahwa dia bertemu Tuhan dan
ia pun menuntut, “Tuhanku, aku adalah hamba-Mu yang beriman kepada-Mu, tetapi mengapa
Engkau tidak menyelamatkan aku dari banjir?” Tuhanpun kemudian menjawab, “Bukankah
AKU telah mengirimkan tiga perahu untuk menyelamatkan dirimu?”
Ilustrasi di atas pasti sudah pernah kita baca atau dengar,
yang dipakai untuk menggambarkan bagaimana sesungguhnya “tangan-tangan Tuhan”
itu ada dekat dengan kita, senantiasa hadir dengan cara yang tidak terbatas.
Bisa jadi hadirnya tangan-tangan Tuhan itu dalam bentuk nasihat, tulisan,
bantuan, guncangan, senyuman, sentilan, makian, tangisan, pujian atau dalam
bentuk yang lain. Pertanyaannya adalah apakah kita sudah cukup peka terhadap
hadirnya Tuhan di hadapan kita? Ataukah justru kita sedang terus
mengabaikannya?
Keinsafan akan Tuhan yang transenden, yakni Tuhan yang
berada nun jauh di sana, di kediaman-Nya, adalah keinsafan tingkat pemula dalam
jalan spiritual. Keinsafan yang lebih maju adalah keinsafan akan Tuhan yang
imanen, yakni Tuhan yang dirasakan senantiasa hadir pada setiap kejadian, di
segala ruang dan waktu. Keinsafan akan Tuhan yang imanen tidak berarti
meniadakan keberadaan Tuhan yang transenden. Tuhan adalah imanen dan transenden
pada saat yang bersamaan.
Demikian pula dalam jalan bhakti, jalan kesadaran Krishna. Bisa
jadi kita terus berdoa, bersembahyang, melakukan segala bentuk sadhana bhakti
dengan kesadaran bahwa Krishna adanya nun jauh di sana, di dunia rohani, yang
baru akan bisa kita temui dan berinteraksi dalam hubungan-hubungan cinta kasih
setelah kita mencapai kesempurnaan, setelah meninggal dunia dan memenuhi syarat
untuk memasuki dunia rohani. Sementara pada saat yang sama dalam hidup ini kita
gagal merasakan dan melihat Krishna dan cinta kasih kepada Krishna dalam segala
hubungan kita dengan sesama penyembah, sesama manusia, sesama makhluk hidup.
Krishna hanya ada di awang-awang, atau mungkin sedikit lebih maju, Krishna
hanya ada di altar dan hanya hadir saat kita sembahyang…
Ibarat kereta udara membawa aroma wangi dari sumbernya dan
langsung memikat indera penciuman, begitu pula, orang yang senantiasa tekun
dalam bhakti, dalam kesadaran Krishna, dapat memikat Roh
Yang Utama, yang hadir di mana-mana secara merata.
Aku hadir di dalam setiap makhluk hidup sebagai Roh Yang
Utama. Apabila seseorang mengabaikan bahwa Roh Yang Utama ada di mana-mana dan
ia menyibukkan diri dalam pemujaan Arca di kuil, maka itu hanyalah kepalsuan.
Orang yang memuja Arca Tuhan di kuil tapi tidak mengetahui
bahwa Tuhan, sebagai Paramatma, berada di hati setiap makhluk hidup, pasti
berada dalam kebodohan dan ia diibaratkan orang yang menghaturkan persembahan
ke dalam abu.
Orang yang memperlihatkan sikap hormat kepada-Ku namun iri
hati terhadap badan orang lain sehingga ia disebut separatis, tidak pernah
mencapai kedamaian pikiran, disebabkan oleh sikap permusuhannya terhadap
makhluk hidup lain.
Wahai ibu, orang yang tidak mengetahui kehadiran-Ku di dalam
semua makhluk hidup tidak pernah membuat diri-Ku puas dengan pemujaan kepada
Arca-Ku di kuil, bahkan jika ia melakukan pemujaan dengan ritual-ritual dan
sarana yang benar.
Dengan melaksanakan tugas kewajiban yang ditetapkan baginya,
orang hendaknya memuja Arca Personalitas Tuhan Yang Maha Esa sampai ia
menginsafi kehadiran-Ku di hatinya sendiri dan juga di hati makhluk hidup
lainnya.
Srimad-Bhagavatam, 3.29.20-25