Selasa, 18 September 2012

Laki-Laki atau Perempuan?

Menurut cara pandang Vaishnava, Tuhan tidaklah diatributkan sebagai laki-laki semata (Krishna, Visnu), walau mungkin demikian yang umumnya dipahami. Tuhan menciptakan bentuk-bentuk laki-laki dan perempuan, sehingga pada kedudukan aslinya Tuhan bukanlah laki-laki atau perempuan, namun Tuhan mengambil wujud-wujud laki-laki dan perempuan (avatar) untuk berpartisipasi dalam lila(kegiatan kesenangan/bersenang-senang). Namun disebabkan oleh kompleksitas ajaran-ajaran Vaishnava, seringkali orang keliru memahami apa yang sesungguhnya dimaksud sebagai shakti danshaktiman, dimana seringkali mereka keliru memahami dengan mengira filsafat itu berarti bahwa Tuhan hanyalah shaktiman (bermakna semantik maskulin/laki-laki), sehingga kekuatan-yang-tunduk-kepada-Nya, atau shakti-Nya (bermakna semantik feminin/perempuan), adalah berbeda dengan Tuhan. Pemahaman yang otentik menyebutkan bahwa Tuhan adalah keduanya, shakti dan shaktiman. Dinyatakan secara konstan dalam Vaishnava Vedanta bahwa tidak ada perbedaan antara kekuatan (energi) Tuhan dan Tuhan-sendiri-sang-pengendali-kekuatan (sumber energi), yakni bahwa shakti danshaktiman adalah identik, atau dua aspek dari sosok yang sama. Kekuatan (energi) Tuhan dan Tuhan-sendiri-sang-pengendali-kekuatan (sumber energi) adalah dua aspek dari keseluruhan Tuhan. Oleh karena pemaknaan jender digunakan untuk menjelaskan tentang shakti dan shaktiman (karena pada umumnya laki-laki lebih kuat daripada perempuan), seringkali orang memahami penggunaan semantik itu secara terlalu harfiah—yang berujung pada gagasan bahwa Tuhan adalah laki-laki. Yang diajarkan sesungguhnya adalah bahwa Tuhan memiliki dua aspek, yakni kekuatan (energi) Tuhan, atau shakti, dan pengendali kekuatan itu (sumber energi), atau shaktiman....

Selasa, 04 September 2012

Pemikiran-Pemikiran Kita. Dari mana kah datangnya?


Istilah free will dalam Bahasa Inggris memiliki beberapa definisi namun definisi yang paling umum digunakan dan yang paling umum dimaksudkan sebagai free will itu adalah sebagaimana yang terdapat dalam Oxford English Dictionary berikut ini: The power to act without the constraints of necessity or fate; the ability to act at one’s own discretion, atau terjemahan bebasnya dalam Bahasa Indonesia: kekuatan/kemampuan/daya untuk bertindak tanpa kendala/batasan kebutuhan atau takdir; kemampuan untuk bertindak atas kehendak sendiri. Sastra-sastra Veda mengajarkan bahwa kita tidaklah memiliki free will sebagaimana yang dimaksud menurut definisi di atas. Diajarkan bahwa kita dibatasi oleh sifat bawaan dan karma kita. Sifat dasar sang jiva (roh/atma) diajarkan oleh Krishna di dalam Bhagavad-gita (9.10):

mayadhyakshena prakritih
suyate sa-caracaram
hetunanena kaunteya
jagad viparivarttate

Prakriti (yakni segala sesuatu di alam semesta/energi sub-atomik) bekerja di bawah pengawasan-Ku, mayadhyakshena prakritih, mengendalikan sepenuhnya seluruh ciptaan, suyate sa-caracaram. Demikianlah bagaimana alam semesta ini bekerja wahai putra Kunti, hetunanena kaunteya jagad viparivarttate.

Bhagavad-gita 13.30:

prakrityaiva ca karmani
kriyamanani sarvasah
yah pasyati tathatmanam
akarttaram sa pasyati

Segala kegiatan yang terjadi, dalam segala keadaan, adalah dilakukan oleh prakriti, prakrtyaiva ca karmani kriyamanani sarvasah. Orang yang melihat, yah pasyati, bahwa atma bukanlah sang pelaku, atmanam akarttaram, dialah yang melihat dengan sebenarnya, sah pasyati.

Setelah menyabdakan hampir seluruh ayat Bhagavad-gita kita sampai pada beberapa sloka terakhir dimana Krishna meringkas ajaran-Nya kepada Arjuna. Bhagavad-gita dimulai dengan pernyataan Arjuna bahwa ia tidak akan mau bertempur. Setelah berbicara tentang sifat sejati atman dalam hubungan dengan Param Atman, Krishna mengakhiri dengan menyampaikan sebagai berikut kepada Arjuna (18.59-61):

yad ahankaram asritya
na yotsya iti manyase
mithyaiva vyavasayas te
prakritis tvam niyokshyati

Engkau berpikir bahwa engkau tidak mau bertempur, na yotsya iti manyase. Tapi itu terjadi disebabkan oleh pemahaman yang keliru tentang diri sejatimu dan tentang realitas yang sejati, yad ahankaram asritya. Ketetapan hati yang demikian adalah sia-sia, mithyaiva vyavasayas te, sebab prakriti akan menggerakkanmu (membuatmu bertempur), prakritis tvam niyokshyati.

svabhava-jena kaunteya
nibaddhah svena karmana
kartum necchasi yan mohat
karishyasy avaso ‘pi tat

Kehendakmu untuk tidak bertindak adalah ilusi, kartum necchasi yan mohat. Karena telah terikat oleh tindakan, nibaddhah svena karmana, yang muncul dari sifat aslimu wahai putra Kunti, svabhava-jena kaunteya, dalam keadaan yang sesungguhnya tak berdaya, engkau akan bertindak juga, karishyasy avaso ‘pi tat.

isvarah sarva-bhutanam
hrid-dese ‘rjuna tishthati
bhramayan sarva-bhutani
yantrarudhani mayaya

Sang Pengendali Tertinggi ada di hati semua makhluk wahai Arjuna, isvarah sarva-bhutanam hrid-dese ‘rjuna tishthati, mengatur pergerakan semua makhluk, bhramayan sarva-bhutani, yang duduk di atas mesin yang terbuat dari energi-Nya, yantrarudhani mayaya.

Bahkan jika kita tidak mengakui versi-versi sastra Veda tentang realitas sejati ini, melalui logika dan analisis dapat diperlihatkan bahwa kita tidak memiliki free will:

Bagaimanakah caranya diri kita membuat keputusan-keputusan dan kemudian bertindak menjalankan keputusan-keputusan tersebut? Tindakan-tindakan yang kita lakukan seolah-olah ditentukan 1) melalui proses mengikuti pemikiran-pemikiran yang timbul di benak kita 2)  melalui tindakan refleks yang spontan dan 3) melalui kombinasi dari keduanya (1 dan 2):

1) Jika saya memutuskan untuk menghidupkan komputer saya lalu menulis blog, tindakan tersebut nampak seolah ditentukan oleh pemikiran-pemikiran saya. Saya berpikir bahwa saya telah memutuskan untuk melakukan sesuatu dan kemudian saya melakukannya dengan cara mengikuti pemikiran-pemikiran yang terus timbul di benak saya.

2) Ketika saya menulis blog ini, jika tanpa sengaja kaki saya menendang meja dan kemudian segelas air di atas meja hendak tumpah, tanpa berpikir terlebih dahulu saya akan berusaha menangkap gelas itu sebelum ia tumpah. Ini adalah gerakan refleks.

3) Ketika saya menulis blog ini, pilihan tombol-tombol keyboard yang saya tekan adalah berdasarkan pada pemikiran-pemikiran saya, tetapi saya tidak memberitahu jari jemari saya untuk mengetik. Saya berkeinginan untuk mengetik dan nampak seolah jari-jemari saya bertindak di bawah kekuatan mereka sendiri seiring dengan munculnya kata-kata di dalam pikiran saya yang hendak saya ketikkan. Tindakan saya mengetik kata-kata tersebut adalah gabungan dari pemikiran dan gerakan refleks.

Nampak seolah-olah pemikiran-pemikiran saya lah yang menyebabkan sebagian besar tindakan-tindakan saya. Namun dapat ditunjukkan secara logis bahwa kita tidaklah mengendalikan pemahaman akan pemikiran-pemikiran kita:

Bagaimanakah sesungguhnya kita mengalami pemikiran-pemikiran kita? Pemikiran-pemikiran muncul baik sebagai kata-kata atau dialog kata-kata di dalam pikiran kita. Terasa seolah kita mendengar pemikiran-pemikiran tersebut. Pemikiran-pemikiran kita itu nampak seolah adalah sejenis suara namun tanpa tersusun atas gelombang-gelombang suara. Kita mendengar pemikiran-pemikiran kita dengan cara yang berbeda dengan bagaimana kita mendengar gelombang-gelombang suara melalui telinga. Ketika kita mendengar suara melalui telinga maka suara itu harus tercipta melalui sebuah vibrasi/getaran yang menyebabkan perubahan keseimbangan pada sebuah medium, misalnya udara ataupun air. Kemudian telinga menangkap vibrasi tersebut. Ketika kita menekan sebuah tombol piano maka vibrasi yang tercipta di udara menciptakan gelombang-gelombang suara, yang kemudian menggetarkan gendang telinga dan memungkinkan kita untuk mendengar suara yang dihasilkan tersebut.

Sementara, apa yang menyebabkan timbulnya suara pemikiran-pemikiran kita? Apakah diri kita yang merupakan penyebab suara-suara pemikiran tersebut? Jika demikian, bagaimana kita melakukannya? Kita tidak tahu. Yang kita ketahui hanyalah bahwa pemikiran-pemikiran muncul di dalam pikiran dan kita bisa mendengarnya dan biasanya kita meyakini bahwa kita lah yang menyebabkan pemikiran-pemikiran itu muncul. Namun kenyataannya kita tidaklah tahu bagaimana proses untuk membuat pemikiran-pemikiran itu timbul.

Adakah yang bisa memberitahu proses apakah yang terjadi yang terbukti memberi kita kendali atas pemikiran-pemikiran yang muncul di benak kita? Kita tidak tahu proses apa yang terjadi dan di mana proses itu terjadi. Karena itulah kita tidak dapat mengatakan bahwa kita tahu bagaimana cara mengendalikannya. Pemikiran-pemikiran muncul di dalam pikiran kita dan kita tidak punya gagasan yang dapat dibuktikan tentang bagaimana hal tersebut terjadi. Mengapa kita harus meyakini bahwa kita memiliki kendali atas pemikiran-pemikiran kita jika kita tidak mengetahui bagaimana sesungguhnya proses untuk menciptakan dan mengendalikan pemikiran itu terjadi?

Bagaimanakah cara kita untuk mengerti pemikiran-pemikiran kita? Pemikiran-pemikiran mengalir melalui pikiran dalam bentuk satu atau beberapa jenis bahasa. Bagaimanakah cara kita memahami bahasa-bahasa? Bagaimana cara kita mengetahui makna dari kata-kata dan juga tata bahasa? Misalkan saya mengalami sebuah pemikiran: Saya hendak memasak nasi—bagaimana cara saya memahami apa artinya kata nasi itu? Orang mungkin akan menjawab bahwa saya telah menjalani pengalaman pembelajaran terhadap kata-kata tersebut. Sekarang saya telah mengerti arti kata-kata tersebut sebab saya mengingat apa yang telah saya pelajari. Terdengar masuk akal. Tetapi, bagaimanakah caranya saya mengingat? Bagaimanakah caranya ingatan akan arti kata-kata tersebut menjadi saya ketahui saat ini?

Saya mengetahui melalui ingatan akan pengalaman sebelumnya bahwa kata nasi berarti biji dari tumbuhan padi. Di mana kah tempat tersimpannya ingatan akan kata nasi itu dan bagaimana caranya kemudian ingatan itu menjadi tersedia bagi saya? Bagaimana pun caranya hal itu terjadi, yang pasti adalah bahwa saya mengetahui satu hal: saya tahu bahwa saya tidak memiliki kendali atas bagaimana pengalaman-pengalaman masa lalu saya tersimpan atau dibuat menjadi tersedia bagi saya sebagai ingatan saya. Kemampuan untuk mengendalikan ingatan tersebut berada di luar kendali saya. Sebagai contoh: Jika saya meminta agar Anda menjelaskan alur cerita sebuah film yang baru saja Anda saksikan, maka apakah yang Anda kerjakan untuk menemukan ingatan tentang film itu ketika Anda berusaha untuk menceritakan kembali apa yang Anda lihat di dalam film itu? Tidak ada satu hal pun yang dapat kita lakukan. Kita tidak tahu di mana atau bagaimana menemukan sebuah ingatan. Ingatan itu muncul begitu saja di dalam pikiran. Anda tidak mencarinya sebab Anda tidak tahu di mana dan juga bagaimana caranya melakukan pencarian. Bagaimana pun caranya ingatan kita berfungsi, yang jelas adalah bukan disebabkan oleh kendali kita atas ingatan-ingatan tersebut.

Apa yang dapat kita simpulkan?:

1) Untuk dapat memahami pemikiran-pemikiran kita, kita memerlukan ingatan untuk mengerti bahasa dari pemikiran-pemikiran kita.

2) Kita tidak mengendalikan ingatan.

3) Kita tidak tahu tersusun atas “suara” apakah pemikiran-pemikiran kita, dan kita juga tidak tahu bagaimana menciptakan dan mengendalikan suara pemikiran tersebut. Karena itu kita sesungguhnya tidak mengetahui bagaimana pemikiran-pemikiran kita muncul.

4) Pemikiran-pemikiran muncul di dalam pikiran kita tanpa kita mengetahui bagaimana menciptakan ataupun mengendalikannya, atau bahkan apa sesungguhnya pemikiran itu kita tidak tahu. Ingatan memungkinkan kita untuk mengerti bahasa dari pemikiran-pemikiran kita. Kita mengerti bahasa dari pemikiran-pemikiran kita tanpa kita sendiri mengendalikan ataupun mengerti bagaimana cara berfungsinya ingatan kita.

5) Jika kita melakukan tindakan-tindakan yang berdasarkan pada pemikiran-pemikiran kita–dapat diperlihatkan bahwa kita bukanlah yang mengendalikan tindakan-tindakan kita sebab kita tidak tahu bagaimana mengendalikan terciptanya maupun proses pemahaman terhadap pemikiran-pemikiran kita.

Jadi bahkan jika kita tidak mempercayai sastra ketika dijelaskan bahwa kita tidak memiliki free will, ketika dijelaskan bahwa Paramatma mengendalikan kita dengan cara menjalankan fungsi sebagai pikiran kita dan mengendalikan pikiran kita, tetap saja masih dapat diperlihatkan melalui analisis logis bahwa kita tidaklah mengendalikan proses pemikiran kita. Karena itu, kita tidak memiliki kendali atas tindakan-tindakan atau kehendak-kehendak kita.

Akan banyak yang beragumen: Kita pasti memiliki free will. Jika tidak demikian bagaimana mungkin kita memiliki karma? Bagaimana mungkin kita tetap dituntut bertanggungjawab atas pilihan-pilihan kita jika kita tidak memiliki free will?

Sastra dan analisis logis menjelaskan kepada kita bahwa kita tidak memiliki free will, yakni kekuatan/kemampuan/daya untuk bertindak tanpa kendala/batasan kebutuhan atau takdir; kemampuan untuk bertindak atas kehendak sendiri.

Kita memiliki kemampuan bawaan untuk menginginkan, tetapi bukan free will untuk melaksanakan keinginan tersebut. Bhakti adalah soal menyucikan keinginan melalui dihancurkannya avidya (kebodohan/keadaan tidak berpengetahuan) dan ahankara (keakuan palsu). Kita tidak memiliki free will untuk memilih jalan apa yang akan kita lalui dalam segala yang kita lakukan atau alami. Disebabkan oleh keinginan kita untuk menjadi bebas tersendiri dari realitas tentang bagaimana sesungguhnya keberadaan kita, disebabkan oleh keinginan kita untuk tidak menjalani hidup di bawah kendali pihak lain (Tuhan), kita akhirnya ditempatkan dalam sebuah keadaan dimana berangsur-angsur kita akan menyucikan keinginan kita. Kita tidak memiliki pilihan lain selain berada di bawah kendali pihak lain. Kita benar-benar tidak bisa memiliki keberadaan yang tanpa berada di bawah kendali Tuhan. Kita bergantung sepenuhnya kepada Tuhan dalam hal kemampuan kita untuk menjalankan fungsi sebagai makhluk yang berkecerdasan. Kita tidak mampu mengendalikan pemikiran-pemikiran kita, ingatan kita, tindakan-tindakan kita. Kita benar-benar tidak memiliki kemampuan seperti kemampuan yang dimiliki Tuhan untuk memiliki keberadaan secara bebas tersendiri.

Sang jiva akan terus mengalami kelahiran demi kelahiran dalam keadaan disesatkan oleh avidya dan ahankara sampai keinginan mereka disucikan. Keinginan mereka membentuk tindakan-tindakan mereka, bukan atas free will mereka sendiri, melainkan atas will dari Paramatma dalam memutuskan apa yang pelu dialami sang jiva untuk dapat terbebas dari sikap penolakan terhadap kendali Tuhan. 

Karma jauh lebih kompleks daripada apa yang sering dipikirkan orang. Seringkali karma dipandang secara sederhana sebagai aksi-reaksi—jika kita berbuat buruk maka kita akan dihukum. Realitasnya adalah bahwa karma didesain untuk menyucikan keinginan sang jiva. Karma bukan soal pembalasan dendam, melainkan adalah soal mengubah sikap penolakan menjadi penerimaan terhadap pengendalian Tuhan. Penyebab jiva menjadi tunduk di bawah hukum karma dan samsara adalah karena jiva tidak ingin menerima realitas dari keberadaan sejatinya yang adalah bagian dari Tuhan dan berada di bawah kendali Tuhan.

Senin, 30 Juli 2012

Dunia Ini Sebagai Sebuah Realitas Virtual

Realitas Virtual (virtual reality) yang telah mampu dihasilkan oleh teknologi komputer, dapat digunakan sebagai analogi yang sempurna bagi realitas sejati kita di dunia ini. Dalam sebuah dunia Realitas Virtual segala yang kita lihat nampak nyata (dengan menggunakan teknologi modern terbaik). Contohnya adalah film AVATAR. Dalam film tersebut Jake Sully memakai sebuah perangkat dan kemudian kesadaran dan pikirannya masuk ke dalam badan sesosok makhluk Pandora. Kemudian ia bisa hidup dan bernafas di tengah-tengah atmosfer planet Pandora. Tentu saja di dalam film itu planet Pandora itu bukan dianggap sebagai sebuah dunia Realitas Virtual, namun sesungguhnya adalah Realitas Virtual karena segala sesuatu di dunia itu adalah sebuah animasi 3 dimensi, yang seolah nyata, yang dihasilkan oleh komputer. Film tersebut memperlihatkan betapa telah majunya teknologi modern dalam membuat sebuah dunia Realitas Virtual menjadi nampak sangat nyata. Dan apa yang membuatnya lebih mirip lagi dengan Realitas Virtual adalah bahwa animasinya didasarkan pada gerakan-gerakan dari aktor-aktor yang sesungguhnya. Para aktor mengenakan pakaian khusus agar gerakan mereka mampu ditangkap oleh sebuah program komputer, yang kemudian dianimasikan secara digital.

Dunia kita ini juga adalah sebuah dunia Realitas Virtual, namun dengan teknologi yang berbeda dengan Realitas Virtual yang diciptakan oleh komputer. Ketika kita menonton film atau video pada komputer kita, apa yang sedang kita lihat adalah bit-bit data digital yang disusun membentuk pola-pola di dalam sebuah platform teknologi yang menerjemahkan informasi digital tersebut menjadi bentuk-bentuk dan warna-warna pada sebuah layar, yang kemudian menghasilkan ilusi realitas. Ketika kita menonton video Justin Beiber misalnya, nampak bahwa seolah kita benar-benar sedang melihat dia menyanyi dan menari, namun kenyataannya adalah bahwa itu hanyalah bit-bit data yang disusun untuk menciptakan ilusi realitas. Untuk merasakan dan mengalami dunia Realitas Virtual di dalam komputer, kita memerlukan perlengkapan khusus untuk bisa berbicara dan mendengarkan, dan perlengkapan khusus yang ditempelkan di tangan dan kaki, sehingga komputer dapat menangkap gerakan-gerakan kita dan menerjemahkannya ke dalam sosok Realitas Virtual kita di dalam dunia 3 dimensi yang dihasilkan oleh komputer. 

Setelah masuk berada di dalam dunia Realitas Virtual kita akan memiliki sebuah badan dan dapat berinteraksi dengan lingkungan di dalam, namun lingkungan tersebut seluruhnya tersusun atas bit-bit data, dan disebabkan oleh hal itu maka orang yang mengendalikan komputer tersebut akan dapat menciptakan dan mengendalikan segalanya sesuai dengan yang diinginkan. 

Keadaan dunia kita ini sebenarnya sangat mirip dengan sebuah dunia Realitas Virtual, namun dengan sebuah teknologi yang jauh lebih rumit di balik semuanya. Dalam sebuah Realitas Virtual di dalam komputer, segala yang kita lihat tersusun atas bit-bit data yang diterjemahkan ke dalam sebuah platform audio-visual. Sedangkan dunia kita ini tersusun atas bit-bit partikel kuantum zat/materi/energi, yang ketika direduksi sampai bagian terkecilnya akan mengungkap sebuah realitas yang sangat ajaib yang mencengangkan para ahli fisika. 

Partikel-partikel kuantum terkecil zat entah bagaimana nampak seolah berubah secara ajaib dari keadaan tidak bermassa atau tidak memiliki berat, menjadi bermassa atau memiliki berat, yang kemudian membentuk partikel-partikel yang lebih besar, yang selanjutnya menyusun segala unsur yang ada di dunia ini. Teori yang sedang mengemuka adalah bahwa ada sejenis lapangan energi yang mahameluas, maha-ada, substansi yang belum dikenal (lapangan energi Higgs, atau partikel Higgs Boson/ “Partikel Tuhan”) yang entah bagaimana menyebabkan partikel-partikel kuantum yang tak bermassa itu berubah menjadi memiliki massa, yakni menjadi memiliki substansi berat dan wujud 3 dimensi. 

Partikel-partikel kuantum terkecil tersebut bukanlah partikel-partikel dalam makna seperti partikel-partikel pasir, dimana sesungguhnya itu adalah lapangan energi, substansi yang abstrak, dengan sifat-sifat seperti energi gelombang, misalnya gelombang suara, dan juga pada saat yang sama memiliki sifat-sifat sebagai partikel. Realitas tentang zat pada tataran kuantum sangatlah tidak terduga dan membingungkan para ilmuwan sebab nampak seolah hal itu mustahil. Teori-teori yang sangat populer menyarankan tentang adanya dimensi-dimensi alternatif untuk membantu menjelaskan apa yang sedang diamati pada tataran kuantum, dan juga gagasan tentang alam semesta sebagai sebuah Realitas Virtual memang telah didalilkan oleh para ahli fisika. 

Dan mereka memang benar, alam semesta kita adalah sebuah Realitas Virtual dan ditopang oleh dimensi-dimensi alternatif yang tak terlihat. Sifat-sifat tak biasa yang dimiliki oleh zat pada tingkat kuantum disebabkan oleh keterlibatan dimensi-dimensi alternatif yang tidak mampu diditeksi oleh mesin-mesin 3 dimensi. Seperti halnya pemikiran-pemikiran kita, yang berada pada dimensi alternatif di luar zat, sehingga pemikiran-pemikiran tersebut tidak bisa dideteksi secara langsung oleh sebuah mesin yang terbuat dari zat sebab pemikiran-pemikiran tersebut berada pada sebuah dimensi yang berbeda. 

Pemikiran-pemikiran kita tersusun bukan atas partikel-partikel atau unsur-unsur kuantum. Namun pemikiran-pemikiran tersebut memang ada. Demikian pula, apa yang mampu diamati oleh para ilmuwan di dunia ini serupa dengan apa yang mampu kita lihat dari sebuah gunung es—hanya puncak gunung es itulah yang terlihat sebab sebagian besar dari gunung es itu berada di bawah air. Ketika kita memandang seseorang kita tidak dapat melihat orang itu seutuhnya, melainkan kita hanya melihat segala yang tersusun atas zat dalam ruang 3 dimensi. Apa yang tak mampu kita lihat? Bagian yang paling penting, yakni lapangan kesadaran dan pikiran yang mengendalikan badan tersebut. 

Alam semesta kita yang kasat mata ini juga adalah sesuatu yang seperti itu. Partikel-partikel kuantum adalah bagian dari sebuah makhluk semesta yang berada pada dimensi yang jauh lebih banyak daripada sekadar 3 dimensi zat, beserta kesadaran dan pikiran, yakni bahwa seluruh alam semesta (yang kasat mata dan yang tidak kasat mata) adalah sebuah mahapikiran yang mahasadar, atau super-komputer yang sadar. Namun tidak seperti sebuah komputer yang hanya mengendalikan bit-bit data digital yang ada di dalam komputer, super-komputer semesta ini mengendalikan bit-bit materi (zat/ energi) yang ada di dalam dirinya sendiri, yakni segala sesuatu yang ada di dalam alam semesta ini. 

Sebuah komputer menyadari dan mengendalikan setiap bit data yang ada di dalam drive-drive-nya, dan ia menggunakan kesadaran dan kendali tersebut untuk menciptakan piksel-piksel warna pada sebuah layar (sebuah layar 3 dimensi untuk menampilkan realitas virtual) yang ketika digabungkan dalam jumlah yang cukup banyak menciptakan apa yang nampak seperti dunia nyata. Video super high definition, khususnya yang memiliki fasilitas 3 dimensi, nampak persis seperti kenyataan. Namun itu sesungguhnya hanyalah bit-bit data digital yang dimanipulasi di dalam sebuah bagian dari sebuah komputer, yang menciptakan sebuah ilusi realitas melalui sebuah teknologi pemroses informasi yang sangat rumit dan canggih. 

Demikian pula, Tuhan, sesosok super-komputer semesta, memiliki kendali atas seluruh zat/materi bahkan dari tingkatan kuantum, yang berada baik di dalam Tuhan maupun sebagai bagian dari Tuhan. Zat bertindak sangat aneh pada tingkat kuantum sebab ia adalah bagian dari sebuah lapangan energi ekstra-dimensi yang bukan hanya berkesadaran dan berkecerdasan, melainkan juga mengendalikan energi tersebut, menggunakan sebagian dari energi/ keberadaannya sendiri yang sadar tersebut untuk mewujudkan partikel-partikel kuantum menjadi rangkaian-rangkaian informasi tertentu—yang menyebabkan mereka membentuk partikel-partikel yang lebih besar, yang bersesuaian dan tepat secara matematis seperti atom-atom, dan kemudian menjadi molekul-molekul, dan kemudian menjadi unsur-unsur, dan selanjutnya menjadi segala sesuatu yang ada di dalam alam semesta kita yang tersusun atas unsur-unsur seperti misalnya tetumbuhan, binatang, air, udara, tanah, api, dsb. 

Bagaimana Tuhan melakukan semua itu? Bagaimana sebuah komputer mampu menciptakan sebuah ilusi realitas hanya dengan menggunakan bit-bit informasi digital? Sebab ia memiliki kendali penuh atas bit-bit data tersebut dengan teknologi yang canggih dan mampu mengolah semua itu untuk menciptakan ilusi macam apa pun. Tuhan mengendalikan dunia kita ini dengan cara yang serupa. Pada hakikatnya kita hidup di dalam sebuah super-komputer yang memiliki kesadaran semesta yang mengendalikan zat/energi seperti halnya sebuah komputer yang mengendalikan bit-bit data digital. Kita tidak mampu melihat keseluruhan super-komputer yang berkesadaran tersebut sebab ia berada pada dimensi-dimensi yang lebih banyak daripada 3 dimensi yang mampu kita lihat dengan mata kita—seperti halnya komputer berada di dalam dimensi-dimensi yang lebih banyak daripada video yang ia ciptakan dan tampilkan, atau bahwa kesadaran dan pikiran kita berada di dalam sebuah dimensi yang berbeda dengan badan yang ditempati dan dikendalikannya. 

Bhakti-yoga sesungguhnya adalah soal mengembangkan kemampuan untuk berelasi/menjalin hubungan sedekat mungkin dengan sang super-komputer semesta itu—atau Isvara—sebuah kata bahasa Sanskerta yang menunjukkan Tuhan, yang secara harfiah berarti memerintah atau mengendalikan. Di dalam sebuah dunia Realitas Virtual yang dihasilkan oleh komputer, para user tampil sebagai karakter atau pemain dalam bentuk-bentuk digital yang disebut avatar. Avatar adalah kata bahasa Sanskerta yang secara harfiah berarti turun atau memasuki. Kata tersebut digunakan untuk menguraikan tentang tentang Tuhan yang mengambil wujud kehidupan di dalam dunia kita, seperti halnya seorang user turun atau masuk ke dalam badan-badan yang tersedia di dalam sebuah Realitas Virtual yang dihasilkan oleh komputer. 

Mengenai kedudukan Tuhan sendiri, Tuhan adalah komputer itu sendiri dan sang user, atau sang super-user. Bhakti-yoga adalah proses untuk mengerti siapa diri kita, bagaimanakah Tuhan itu sesungguhnya, dan apa tujuan hidup kita. Kita bukan hanya diajarkan bahwa Tuhan berada di mana-mana, dan memiliki kendali penuh atas segalanya dan juga sesungguhnya menyusun segalanya di dalam alam semesta ini, melainkan juga bahwa Tuhan hadir sebagai pikiran kita dan mengendalikan pikiran kita. Diri kita bukanlah pikiran kita, kita mengamati pikiran kita, kita menggunakan pikiran kita, tapi kita berbeda dengan pikiran tersebut—sebab kita adalah energi yang berkesadaran itu yakni atman.

Śrīmad Bhāgavatam 3.26.28

yad vidur hy aniruddhākhyaḿ
hṛṣīkāṇām adhīśvaram
śāradendīvara-śyāmaḿ
saḿrādhyaḿ yogibhiḥ śanaiḥ

Pikiran makhluk hidup dikenal dengan nama Sri Aniruddha, pengendali tertinggi indera-indera. Dia memiliki wujud berwarna hitam kebiru-biruan bagaikan sekuntum bunga padma yang mekar pada musim gugur. Dia ditemukan secara perlahan-lahan oleh para yogi.

Aniruddha adalah nama lain bagi perwujudan atau ekspansi Tuhan yang dikenal sebagai Paramatma, sang kesadaran tertinggi, pikiran Tuhan yang mahameluas dan meliputi segalanya. Tidaklah begitu tepat jika dikatakan bahwa Tuhan hanya “muncul di dalam pikiran” melainkan bahwa Tuhan mengungkap Diri-Nya sebagai sang pikiran itu sendiri, atau sang pengendali pikiran.

Śrīmad Bhāgavatam 1.2.11

vadanti tat tattva-vidas
tattvaḿ yaj jñānam advayam
brahmeti paramātmeti
bhagavān iti śabdyate

Para rohaniwan berpengetahuan yang mengenal Kebenaran Mutlak menyebut substansi tunggal tersebut sebagai Brahman, Paramatma atau Bhagavan.

Brahman adalah aspek impersonal Tuhan; dalam analogi tentang sebuah komputer tersebut maka Brahman adalah hardware atau perangkat kerasnya. Paramatma adalah aspek kecerdasan atau pikiran Tuhan; dalam analogi tentang sebuah komputer tersebut maka Paramatma adalah software atau perangkat lunak, yakni sistem pemroses informasi. Bhagavan adalah personalitas Tuhan; dalam analogi tentang sebuah komputer tersebut maka Bhagavan adalah sang user atau pengendali, yakni sosok pribadi yang mengendalikan komputer tersebut. Namun dalam hal Tuhan, komputer itu sendiri adalah sang user, komputer itu sendiri adalah sesosok makhluk sadar yang mengendalikan komputer tersebut sebagai super-user

User biasa akan bergantung pada komputer untuk urusan pemrosesan informasi dan segala yang dikerjakan oleh komputer agar sang user dapat melakukan fungsi dalam sebuah realitas virtual. Demikian pula, kita bergantung kepada Tuhan dalam hal pemrosesan informasi di dalam pikiran kita, yang memungkinkan kita untuk berfungsi sebagai seseorang yang berkecerdasan. Sebagai contoh: kemampuan kita untuk memproses informasi dan memahami segala sesuatu didasarkan pada ingatan. Seperti halnya sebuah sistem ingatan/memori pada sebuah komputer memungkinkan sang user untuk bermain dalam sebuah realitas virtual, kemampuan kita untuk berfungsi sebagai seseorang yang berkecerdasan di dunia kita ini adalah disebabkan oleh kuasa kendali yang menyediakan ingatan-ingatan untuk kita. 

Tanpa ingatan-ingatan tersebut kita tidak akan mampu memahami apa pun, melainkan sepanjang waktu kita akan menjadi seperti bayi yang baru lahir. Tetapi, kita mengetahui di mana kita sedang berada saat ini; kita mengenal segala yang ada di sekitar kita; kita mampu mengerti bahasa, bukan hanya suara melainkan juga kata-kata beserta makna-maknanya. Faktanya, kehidupan kita sebagai manusia yang berkecerdasan bergantung sepenuhnya pada sebuah sistem ingatan dimana sistem ingatan itu sama sekali di luar kendali kita dan kita tidak memiliki akses untuk memasukinya. Kita mengetahui begitu saja apa yang kita ketahui dan ingat begitu saja dengan apa yang kita ingat tanpa perlu mencari melalui media-media penyimpanan data. Bahkan jika kita ingin mengetahui sesuatu, kita tidak akan mengetahui di mana harus mencarinya, kita tidak akan memiliki ingatan tentang bagaimana mengetahui cara untuk mencarinya, sebelum ingatan tentang bagaimana cara mencarinya tersebut disediakan terlebih dahulu kepada kita. 

Ingatan-ingatan muncul begitu saja di dalam pikiran kita. Beberapa jenis ingatan bersifat bawah-sadar: misalnya bagaimana cara membaca dan menulis; bagaimana mengkoordinasikan gerakan-gerakan tubuh; bagaimana memahami bahasa, dsb. jenis-jenis ingatan lainnya bersifat sadar: misalnya mengingat alur dari sebuah buku yang kita baca atau sebuah film yang kita tonton; mengingat filsafat; mengingat nama; dsb. Dalam kedua jenis ingatan tersebut kita tidak memiliki kendali atas muncul dan menghilangnya ingatan-ingatan tersebut. Semuanya muncul begitu saja di dalam pikiran kita yang memungkinkan kita untuk menjalani hidup sebagai makhluk yang cerdas. Kadangkala kita merasa bahwa kitalah yang mengendalikan ingatan, tetapi, apa yang bisa kita lakukan untuk berusaha mengingat sesuatu? Ke mana kita akan mencari ingatan tersebut? Tidak ada tempat untuk mencarinya, sebab ingatan muncul dan menghilang begitu saja di dalam pikiran kita. 

Krishna menjelaskan di dalam Bhagavad-gita bahwa Dialah yang menyediakan ingatan-ingatan kepada kita. Krishnalah yang mengendalikan sistem ingatan kita sebab Krishna menjalankan fungsi sebagai pikiran, memberi kita ingatan sesuai dengan kehendak-Nya. Pikiran Tuhan sendiri adalah bagaikan software dalam sebuah komputer, yakni bahwa ia memproses informasi yang tersimpan di dalamnya dan membuatnya tersedia bagi sang user:

Bhagavad-gita 15.15

sarvasya cāhaḿ hṛdi sanniviṣṭo
mattaḥ smṛtir jñānam apohanaḿ ca
vedaiś ca sarvair aham eva vedyo
vedānta-kṛd veda-vid eva cāham

Aku bersemayam di dalam hati setiap makhluk. Ingatan, pengetahuan dan pelupaan berasal dari-Ku. Akulah yang harus diketahui dari segala Veda; memang Akulah yang menyusun Vedanta, dan Akulah yang mengetahui Veda.

Bhagavad-gita 18.61

īśvaraḥ sarva-bhūtānāḿ
hṛd-deśe 'rjuna tiṣṭhati
bhrāmayan sarva-bhūtāni
yantrārūḍhāni māyayā

Sang Pengendali Tertinggi bersemayam di hati semua orang, wahai Arjuna, dan Dia mengarahkan pengembaraan semua makhluk hidup, yang duduk seolah-olah pada sebuah mesin terbuat dari tenaga material. 

Bhakti-yoga mengajarkan bagaimana caranya mencapai keinsafan diri. Keinsafan diri meliputi pemahaman akan: apa dan siapa diri kita; bagaimana cara kita menjalankan fungsi kita di dunia ini; apa dan siapa Tuhan itu; dan apa tujuan hidup kita. Tujuannya adalah untuk mengerti secara penuh tentang segalanya, atau mengerti sejauh yang mungkin dimengerti tentang sifat dari keadaan sejati kita, dan kemudian untuk masuk ke dalam hubungan pribadi secara fisik dengan perwujudan dari sang pengendali alam semesta. Tuhan menciptakan wujud laki-laki dan perempuan dan muncul dalam kedua wujud tersebut untuk menjalin hubungan dengan laki-laki dan perempuan. 

Tetapi, pertama-tama kita perlu mengerti segalanya sampai pada tingkat dimana Tuhan dapat menikmati sebuah hubungan dengan seseorang yang mampu memuaskan Tuhan pada tingkatan intelektual, yang sedekat mungkin dengan tingkat intelektual Tuhan. Ketika kita akhirnya mencapai tingkat kesempurnaan tertinggi bagi diri kita, Tuhan memberi kita avatar atau badan baru untuk kita gunakan, yang muda, segar dan rupawan, yang tidak akan menua melainkan tetap pada usia muda. Namun sebelum tingkat itu dicapai kita perlu mengerti bagaimana pikiran kita bekerja agar kita dapat berada dalam komunikasi konstan/tanpa putus dan tidak keliru dalam memahami sifat sejati diri kita dalam hubungan dengan Tuhan. Kita cenderung untuk keliru menyamakan diri kita dengan pikiran, dan kita juga cenderung untuk keliru menyamakan orang lain dengan pikiran mereka. Kita perlu mencapai pemahaman yang jernih tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi agar Tuhan dapat menikmati hubungan dekat dengan kita:

Srimad-Bhagavatam 3.28.35-36

muktāśrayaḿ yarhi nirviṣayaḿ viraktaḿ
nirvāṇam ṛcchati manaḥ sahasā yathārciḥ
ātmānam atra puruṣo 'vyavadhānam ekam
anvīkṣate pratinivṛtta-guṇa-pravāhaḥ

Ketika dengan demikian pikiran terbebas dari segala pencemaran material dan bebas dari tujuan-tujuan material, ia persis seperti nyala sebuah lampu. Pada saat itu pikiran benar-benar terhubung dengan pikiran Tuhan dan dirasakan menyatu dengan Tuhan sebab pikiran terbebas dari aliran sifat-sifat material yang saling mempengaruhi.

so 'py etayā caramayā manaso nivṛttyā
tasmin mahimny avasitaḥ sukha-duḥkha-bāhye
hetutvam apy asati kartari duḥkhayor yat
svātman vidhatta upalabdha-parātma-kāṣṭhaḥ

Dengan mantap seperti itu pada tingkat spiritual tertinggi, pikiran terhenti dari segala reaksi material dan menjadi mantap dalam keagungannya sendiri, melampaui segala konsep kebahagiaan dan penderitaan material. Pada saat itu sang yogi menginsafi kebenaran tentang hubungan dirinya dengan Personalitas Tuhan Yang Maha Esa. Ia menemukan bahwa kenikmatan dan rasa sakit, demikian pula interaksi di antara keduanya, yang ia hubungkan dengan dirinya sendiri, sesungguhnya disebabkan oleh ego palsu, yang merupakan produk dari kebodohan. 

Kita perlu mengerti bahwa kita tidaklah sendirian di dalam pikiran kita. Kita dengan Tuhan adalah bagaikan pasangan kembar di dalam pikiran kita, ditambah bahwa Tuhan adalah sang rekan yang merupakan pengendali. Kita satu dengan Tuhan, tetapi tidak sama. Segala sesuatu yang terjadi di dunia kita ini tidaklah terjadi secara sembarangan atau kacau-balau tanpa kendali. Dunia ini sejatinya adalah sebuah dunia virtual dimana sang super-user/super-komputer sedang mengendalikan pikiran semua orang dan segala sesuatu yang ada. Pengalaman apa pun yang kita alami adalah apa yang Tuhan inginkan untuk kita alami; tidak ada sesuatu yang berdiri secara bebas tersendiri. Seperti halnya tidak ada sesuatu pun di dalam sebuah dunia digital virtual yang terjadi secara bebas tersendiri dari komputer yang menghasilkannya.

Di dalam Skanda 11 Srimad-Bhagavatam (11.13.24) Krishna bersabda:

manasā vacasā dṛṣṭyā
gṛhyate 'nyair apīndriyaiḥ
aham eva na matto 'nyad
iti budhyadhvam añjasā

Di dunia ini, segala yang dialami dan dirasakan oleh pikiran, kata-kata, mata ataupun indera-indera lainnya adalah Diri-Ku semata dan tidak ada yang lain selain Aku. Kalian semua pahamilah hal ini melalui analisis yang bersifat langsung dan apa adanya terhadap kenyataan-kenyataan yang ada.

Srimad-Bhagavatam 11.13.30:

yāvan nānārtha-dhīḥ puḿso
na nivarteta yuktibhiḥ
jāgarty api svapann ajñaḥ
svapne jāgaraṇaḿ yathā

Sesuai dengan petunjuk-petunjuk-Ku, orang hendaknya memantapkan pikirannya hanya kepada-Ku. Akan tetapi, jika ia masih saja terus melihat banyak nilai dan tujuan yang berbeda-beda dalam hidup ini dan bukannya melihat segalanya di dalam Diri-Ku, maka walaupun ia nampak seolah-olah terjaga/sadar, sesungguhnya ia sedang bermimpi disebabkan oleh pengetahuan yang tidak lengkap, seperti halnya seseorang mungkin bermimpi bahwa ia telah terbangun dari sebuah mimpi.

Jumat, 20 Juli 2012

Kita Bukan Badan. Demikian Pula, Kita Bukan Pikiran

Kita merasa memiliki free will (kebebasan memilih, atau kebebasan bertindak, atau kemampuan untuk bertindak secara tersendiri secara bebas tanpa pembatasan oleh faktor lain) jika kita tidak merenungkan dalam-dalam tentang bagaimana proses kerja pikiran, jika kita tidak mencermati bagaimana pemikiran-pemikiran timbul/tercipta, bagaimana proses terwujudnya ingatan, dsb. Karena itu kebanyakan orang akan dengan sangat mudah sekali menerima jika dikatakan bahwa mereka memiliki free will. Mereka tidak mampu membayangkan bagaimana mungkin seseorang tidak memiliki free will.

Walaupun secara langsung bertentangan dengan apa yang dinyatakan oleh shastra, namun karena nampak seolah bahwa kita memiliki kendali atas pikiran dan badan kita, sangat mudah kemudian untuk mengesampingkan apa yang telah dinyatakan dengan gamblang oleh shastra dengan menganggapnya sebagai sebuah pernyataan yang belum terjelaskan, misterius, atau tidak nyata. (Beberapa di antara pernyataan-pernyataan tersebut dapat dibaca dalam artikel: KARMA) Orang hanya tidak terbiasa dengan gagasan bahwa diri mereka tidak memiliki kendali atas proses berpikir mereka, ditambah lagi adanya banyak ulasan atas shastra yang menekankan agar kita hendaknya berusaha mengendalikan pikiran. Secara umum shastra mengajarkan hal yang berbeda-beda untuk orang dengan level keinsafan yang berbeda-beda.

Contohnya adalah di dalam Bhagavad-gita dimana pada bagian-bagian awal Krishna menganjurkan untuk berusaha mengendalikan pikiran, kemudian berikutnya Krishna menyatakan bahwa sesungguhnya Dialah yang mengendalikan dari dalam. Anjuran awal dimaksudkan untuk membantu orang-orang yang perlu memisahkan diri mereka dari kesan/rasa penyamaan diri dengan pikiran. Krishna mengarahkan agar kita mengerti bahwa diri kita berbeda dengan pikiran kita (kita bukan badan, demikian pula kita bukan pikiran) dengan memberitahu kita agar mengamati pikiran dan berusaha mengendalikan pikiran dalam meditasi/pemusatan pikiran.

Seiring dengan kemajuan kita, kemampuan kita untuk mengerti kebenaran-kebenaran yang lebih kompleks meningkat, sehingga shastra menyediakan ajaran-ajaran tingkat lebih lanjut untuk kita. Sudah merupakan hal yang lumrah dalam ajaran-ajaran spiritual Veda untuk kadangkala berbicara tentang kebenaran-kebenaran yang berkedudukan relatif lebih rendah untuk mengantarkan seseorang secara bertahap menuju kebenaran yang lebih tinggi ataupun kebenaran mutlak. Bab 6 Bhagavad-gita adalah contoh yang sempurna. Krishna berbicara tentang belajar untuk memisahkan sang diri dari pikiran melalui meditasi/pemusatan pikiran.
Kita cenderung menyamakan diri kita dengan pikiran, menganggap pikiran adalah diri kita, sebelum kita mencapai suatu tingkat kemajuan tertentu dalam pemahaman spiritual. Oleh karena itulah Krishna menyampaikan ajaran-ajaran untuk bagaimana memisahkan sang diri dari kecenderungan untuk menyamakan diri dengan pikiran, dengan menggunakan konsep yang kita yakini sebagai kebenaran—yakni bahwa kita mampu mengendalikan pikiran kita.

Oleh karena orang telah begitu terkondisi/terikat sejak lahir untuk menyamakan dirinya dengan pikiran, mereka perlu untuk secara bertahap belajar bagaimana memisahkan diri mereka dari kecenderungan tersebut untuk bisa mencapai keinsafan diri dan mencapai kesadaran Tuhan. Satu cara untuk melakukannya adalah dengan memberitahu mereka agar berusaha mengendalikan pikiran, untuk memantapkannya, untuk berusaha memusatkannya. Tipe ajaran yang seperti ini membantu orang untuk memisahkan dirinya dari kecenderungan menyamakan diri dengan pikiran, untuk melihat pikiran sebagai sesuatu yang berbeda dan terpisah dengan diri sejati mereka sendiri, sebagai sesuatu yang harus diamati. Itulah maksud sebenarnya dari ajaran-ajaran yang demikian.

Senin, 16 Juli 2012

KARMA Lagi

Keinginan-keinginan yang kita kembangkan di dalam hati akan memberi bentuk terhadap tindakan-tindakan kita, namun tindakan-tindakan terjadi bukan atas kehendak bebas kita sendiri melainkan atas kehendak Tuhan di Hati/ Paramatma yang memutuskan apa yang perlu dialami oleh sang jiva untuk menjadi bebas dari kecenderungan tidak mengakui kendali Tuhan. Karma jauh lebih rumit daripada apa yang umumnya dibayangkan. Seringkali karma dilihat sebagai rumus simpel aksi-reaksi — kita berbuat jahat maka kita akan dihukum. Kenyataannya adalah bahwa karma didesain untuk memurnikan/ menyucikan keinginan sang jiva. Karma bukanlah soal pembalasan dendam, melainkan bahwa karma adalah soal mengubah kecenderungan tidak ingin menerima kendali Tuhan tersebut....

Siapakah Sesungguhnya Sang Pelaku?

Argumen bahwa jiva memiliki kebebasan kecil karena merupakan bagian dari Tuhan yang memiliki kebebasan sepenuhnya, seringkali digunakan sebagai dasar untuk meyakini bahwa jiva memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri, bebas mewujudkan keinginan/ pilihannya sendiri atau yang dalam istilah bahasa Inggris dikenal sebagai free will. Analogi yang juga sering digunakan adalah perbandingan antara setetes air laut dengan laut. Namun analogi tersebut kurang mumpuni digunakan jika kita berbicara tentang kemampuan atau kualitas.

Benarkah jiva memiliki segala kualitas/ sifat Tuhan dalam kuantitas yang sangat kecil? Tuhan memiliki banyak kemampuan yang benar-benar tidak dimiliki oleh kita, para jiva. Sebagai contoh, kemampuan untuk mengendalikan ingatan. Kita tidak memiliki kemampuan untuk mendatangkan ingatan. Yang mampu kita lakukan ketika menginginkan agar suatu ingatan tertentu muncul hanyalah menginginkannya agar muncul, dan kemudian ingatan itu bisa muncul, bisa juga tidak. Apa lagi yang mampu kita lakukan? Kita tidak memiliki akses langsung atau kendali atas ingatan-ingatan kita. Tidak mungkin kita memiliki free will jika kita tidak memiliki kendali atas ingatan sebab segala yang kita ketahui, dan segala tindakan yang kita ketahui bagaimana cara melakukannya—adalah disebabkan oleh ingatan. Bagaimana kita akan mampu mengerti bahasa (yang adalah bagian dari proses berpikir) tanpa ingatan? Bagaimana kita akan mampu menggerakkan badan dengan suatu cara yang begitu terkoordinasi tanpa ingatan? Bagaimana kita akan mampu melakukan praktis segalanya tanpa ingatan? Bayi yang baru lahir belum mampu berbuat apa-apa sebab mereka belum memiliki ingatan—demikianlah keadaan kita jika tanpa ingatan. Oleh karena kita memang tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan ingatan kita sendiri, maka kita tidaklah memiliki free will.

Tanpa memiliki kendali atas hal-hal yang kita ketahui, tidaklah mungkin kita memiliki free will. Terkait dengan ingatan-ingatan kita, kita bergantung kepada Krishna pada setiap saat. Apa yang kita lakukan pada setiap detik dan setiap saat sepenuhnya berdasarkan pada ingatan kita. Bagaimana kita akan tahu apa yang harus dilakukan berikutnya jika kita tidak tahu hari apakah hari ini, siapakah diri kita, di manakah kita sedang berada, apa yang rencananya akan kita lakukan, atau bahkan apa arti dari kata-kata yang kita ucapkan dan dengar atau bagaimana memahami segala yang ada di sekitar kita? Krishna bersabda bahwa Dialah yang memberi kita ingatan, dan Krishna menariknya kembali ketika kita sedang tidak membutuhkannya. Krishna juga yang memberi kita pengetahuan, dari dalam hati: sarvasya cāhaḿ hṛdi sanniviṣṭo mattaḥ smṛtir jñānam apohanaḿ ca—Aku bersemayam di hati semua orang, dan ingatan, pengetahuan dan pelupaan berasal dari-Ku. (BG 15.15)

Orang yang meyakini bahwa Tuhan tidak terlibat dalam kehidupan kita sampai derajat seperti yang digambarkan di atas, percaya bahwa ingatan-ingatan kita dikendalikan oleh otak. Orang yang awam dalam bidang ilmiah tentang hal ini percaya bahwa telah dibuktikan secara meyakinkan bahwa otak kita, melalui sejumlah proses, mengendalikan ingatan-ingatan kita. Kenyataannya adalah bahwa para ilmuwan yang membidangi hal itu tidak benar-benar mengetahui bagaimana cara ingatan berfungsi. Mereka percaya bahwa mereka mengetahui bagian-bagian dasar otak dan fungsi dari bagian-bagian tersebut, namun begitu memasuki ranah untuk menjelaskan bagaimana sebuah ingatan dari suatu pengalaman kita tersimpan, atau bagaimana ingatan tersebut dipanggil kembali ke dalam pikiran kita, para ilmuwan masih meneliti dan mencari tahu.

Bagaimanakah sebuah otak, sebuah mesin yang tanpa kesadaran, tahu apa yang kita inginkan? Katakanlah bahwa saat ini Anda sedang membaca artikel ini dan kemudian Anda merasa lapar dan berusaha mengingat apa yang Anda makan di rumah kawan Anda kemarin malam yang sangat Anda sukai. Bagaimana otak kita akan mampu mengetahui hal itu? Secara logika tidaklah mungkin otak kita dapat mengerti pemikiran-pemikiran kita. Otak akan perlu memahami bahasa dari pemikiran-pemikiran kita, dan konsep-konsep dari pemikiran-pemikiran kita misalnya apa arti dari “makan malam” itu sendiri. Sebuah komputer mampu melakukan hal seperti itu terhadap kata-kata sebab sebuah komputer memiliki kamus dan software pengenal suara. Bagaimana bisa sebuah otak mengenali dan mencari makna dari kata-kata? Otak tidak memiliki kemampuan untuk melakukan hal itu, bahkan jika otak mampu menyimpan ingatan-ingatan dan mendatangkannya kembali untuk kita.

Renungkanlah tentang bagaimana kita memahami kata-kata dalam artikel ini. Bagaimanakah caranya otak kita akan mampu melihat kata-kata ini, mencari arti kata-kata yang kita baca tersebut di dalam sebuah area penyimpanan tertentu, kemudian membuatnya dapat dimengerti oleh kesadaran kita, dimana segala proses tersebut terjadi secara instan? Tetapi bahkan sebelum kita sampai sejauh itu, otak pertama-tama harus menyadari pemikiran-pemikiran kita, menyadari kebutuhan-kebutuhan yang termuat dalam pemikiran-pemikiran kita, menyadari kebutuhan dalam keadaan emosional bawah sadar kita—pada dasarnya otak harus memiliki sendiri pikirannya yang super sadar, super cerdas, super peka untuk mengetahui apa yang kita inginkan, atau apa yang kita perlukan, ketika kita memang menginginkan atau memerlukannya. Sebuah komputer dapat bekerja hanya karena ia telah diciptakan dan diprogram secara spesifik untuk tugas tersebut, dan bahkan demikian pun ia tidaklah bekerja dengan sendirinya; ia perlu diminta untuk memberikan informasi. Kita tidak meminta otak kita, dimana ia seolah tahu begitu saja apa yang kita inginkan ketika kita menginginkannya. Orang tidak selalu bisa ingat apa yang mereka inginkan ketika mereka menginginkannya. Mengapa? Dalam hal komputer, ia selalu bekerja sebab ia telah diprogram untuk bekerja. Komputer tidaklah memutuskan apa informasi yang harus diberikan atau apa yang harus tidak dia berikan. Tapi nampak seolah otak kita memutuskan apa dan kapan akan memberikan kita informasi yang kita inginkan atau perlukan. Mengapa? Dan bagaimana?

Para ilmuwan mengatakan bahwa mereka sedang berusaha memahaminya, bahwa mereka tidak tahu bagaimana otak melakukan semua hal itu, namun mereka merasa mereka tahu bahwa informasi tersimpan di suatu tempat tertentu dan bergerak mengikuti suatu jalur tertentu, sementara semua detail lainnya masih merupakan misteri. Dan sesungguhnya akan tetap merupakan misteri.

Demikianlah bahwa jika dicermati, ajaran-ajaran para acharya nampak seolah menimbulkan kontradiksi sebab kadangkala mereka mengemukakan apa yang nampak sebagai kontradiksi terhadap pernyataan-pernyataan sastra. Mereka seringkali menyampaikan satu hal, dan kemudian mengajarkan tentang hal itu dengan cara yang kontradiktif pada saat yang lain. Contohnya juga adalah ajaran tentang asal usul jiva yang telah menyebabkan perdebatan panjang hanya karena kadangkala acharya nampak mengatakan bahwa jiva bisa dan memang jatuh dari Goloka, dan pada saat yang lain mengatakan bahwa jiva tidak akan pernah bisa jatuh dari Goloka, dan bahkan juga bahwa jiva berasal dari Brahman.

Mengapa bisa ada ajaran-ajaran yang nampak seolah kontradiktif seperti itu pada saat yang berbeda-beda? Keyakinan saya adalah bahwa ada kebutuhan akan hal itu dan dipandang bahwa hal tertentu akan lebih menginspirasi orang pada saat-saat dan keadaan tertentu. Demikian pula  tentang free will ini.

Gagasan atau pemahaman bahwa kita tidak memiliki kebebasan untuk bertindak atau kebebasan untuk mewujudkan keinginan (free will), bahwa ada suatu pengaturan takdir yang telah ditetapkan yang tidak akan bisa diubah bagi semua orang dan seluruh isi dunia, terasa begitu kontra intuitif, dan terasa demikian hanya karena kita sedang berada dalam keadaan tak berpengetahuan tentang bagaimana diri kita dan dunia ini berfungsi. Kenyataannya, seluruh dunia dan diri kita sendiri telah tertipu, dan memang ada tujuannya mengapa hal itu terjadi. Tidaklah mudah untuk sampai pada keinsafan akan realitas sejati, bahwa kita tak memiliki kendali, bahwa ada pengendali yang mengendalikan segala yang kita lakukan bahkan yang kita pikirkan, serta segala yang dilakukan dan dipikirkan oleh semua insan lainnya. Jika kita memang sudah siap, segala kebenaran tentang keadaan sebenarnya mengenai kehadiran dan kendali Tuhan dalam hidup kita berangsur-angsur akan diungkap kepada kita....

Selasa, 29 Mei 2012

Menyederhanakan Persoalan: Hare Krishna Hindu atau Bukan?

Kalau definisi kita tentang agama Hindu adalah mereka yang menjadikan Veda sebagai pedoman, menjadikan Resi Vyasa sebagai "nabi", dan Bharata-varsa (India) sebagai tempat suci untuk tirta-yatra, maka Hare Krishna tentu saja adalah Hindu. Terlebih bahwa di Indonesia Hare Krishna sudah berlindung dan diterima di bawah PHDI. Apalagi yg membuat ragu? :-) 

Ini adalah jika kita bicara tentang identitas/sebutan-sebutan atau julukan-julukan, yang difungsikan sebagai identitas untuk kehidupan sosial kemasyarakatan kita di tengah pluralitas ajaran keagamaan. Namun perlu juga setiap insan/ manusia bisa sampai pada pemahaman-pemahaman lebih lanjut untuk diri pribadinya sendiri tentang hakikat kehidupan, yang akhirnya akan mengarah kepada pembelajaran tentang hakikat sejati atau identitas sejati diri kita sebagai roh/jiwa/atma. Dalam keadaan kesadaran sebagai jiwa tersebut, maka sebutan-sebutan yg terkait dengan badan, seperti orang Hindu, orang Muslim, orang Kristen dsbnya itu akan lebur, atau tidak lagi menjadi sekat-sekat yang membedakan. 

Pembelajaran seperti inilah yang sesungguhnya ingin dikedepankan oleh perkumpulan kesadaran Krishna atau Hare Krishna yang didirikan oleh Srila Prabhupada. Dan pembelajaran seperti ini adalah hak setiap orang terlepas dari identitas lahiriahnya. Maka dari itulah Hare Krishna ini juga terbuka untuk umat dari agama mana pun bila memang mereka tertarik.

Artinya, ada level/tingkatan yg berbeda di mana hal ini hendaknya diposisikan. Pada level kehidupan sosial kemasyarakatan sebagaimana saya sudah sebutkan di atas, mau bagaimana pun menolaknya Hare Krishna ini tidak bisa disangkal adalah Hindu, karena kitab suci yang menjadi pedomannya adalah Veda. Sementara pada level pencarian spiritual masing-masing individu, istilah-istilah atau sebutan-sebutan Hindu, Muslim, Kristen, dsb itu tidaklah diperlukan, dan malah bisa menjadi penghalang bagi perkembangan spiritual seseorang jika ia terlalu melekat atau menyamakan dirinya dengan sebutan-sebutan tersebut.

Inilah sebabnya mengapa kita akan bisa menemukan pernyataan-pernyataan yang seolah-olah kontradiktif/bertentangan seperti itu dari Srila Prabhupada. Namun dengan kerangka pemahaman seperti uraian saya di atas, semoga kita akan bisa untuk tidak lagi melihat hal itu sebagai sesuatu yang bertentangan.