Sabtu, 14 September 2013

Vaisnava-Dharma yang Non-Sektarian

Di dalam Kata Pengantar dari karya besar beliau yang berjudul Sri Krishna Samhita, Srila Bhaktivinode Thakur menulis tentang sifat dan keadaan dari sektarianisme. Tulisan beliau ini sangat menarik untuk dicermati dan didalami, karena memberikan gambaran yang sangat universal tentang kedudukan dari filsafat Gaudiya Vaishnava. 

---------------------------------------

Orang-orang di India dan juga di negara-negara lainnya dapatlah kita bagi menjadi dua kategori, yakni mereka yang bagaikan-keledai/ bermental-keledai (asslike) dan mereka yang bagaikan-angsa/ bermental-angsa (swanlike). Di antara dua kategori ini, mereka yang bermental-keledai adalah mayoritas. Mereka yang bermental-angsa merupakan minoritas. Orang yang bermental-angsa mengambil intisari dari penjelasan-penjelasan sastra/kitab suci untuk tercapainya kemajuan pemahaman spiritual mereka dan dengan demikian mereka pun mendapatkan manfaat dari sastra.

Semua orang memiliki hak untuk membahas topik-topik spiritual. Namun walau demikian kita dapat membagi orang-orang menjadi tiga kategori sesuai dengan kepantasan/kualifikasi mereka. Orang-orang yang tidak memiliki kemampuan diskriminasi (pembedaan) yang mandiri dan berdikari adalah termasuk dalam kategori pertama dan mereka disebut sebagai para pemula, atau mereka yang keyakinannya (sraddha) masih lunak. Tidak ada alternatif lain bagi keyakinan/sraddha mereka. Jika mereka tidak mengakui sebagai perintah Tuhan, segala yang ditulis oleh penyusun kitab suci, maka mereka jatuh. Mereka hanya memiliki kepantasan/kualifikasi untuk mengerti makna-makna kasar dari ilmu pengetahuan tentang Krishna; mereka tidak memiliki kualifikasi untuk mengerti makna-makna yang halus. Sebelum mereka mampu mencapai kemajuan lebih lanjut secara bertahap melalui pergaulan yang baik dengan orang-orang yang lebih maju dan menerima petunjuk-petunjuk di tengah pergaulan tersebut, maka mereka hendaknya berusaha untuk mencapai kemajuan di bawah perlindungan keyakinan/sraddha. Orang-orang yang belum berhasil menghubungkan/mengkaitkan sraddha dengan argumentasi adalah orang-orang tingkatan kedua, atau para madhyama-adhikari. Dan orang-orang yang ahli dalam menghubungkan sraddha dengan argumentasi adalah sempurna dalam segala hal. Mereka mampu mencapai kesempurnaan dengan menggunakan sumber-sumber daya material dalam upaya-upaya mandiri dan berdikari mereka sendiri. Mereka disebut insan-insan yang paling mulia, atau para uttama-adhikari.

Sektarianisme adalah sebuah produk sampingan yang alami yang berasal dari Kebenaran Mutlak. Ketika paraacarya pertama kali menentukan dan mengajarkan tentang Kebenaran, Kebenaran tersebut belum tercemari oleh sektarianisme. Namun aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang diterima melalui rangkaian garis perguruan terkait dengan tujuan dan metode untuk mencapai tujuan tersebut mengalami perubahan seiring berjalannya waktu sesuai dengan mentalitas dan tempat beradanya orang-orang. Sebuah aturan yang dijalani oleh sebuah komunitas masyarakat tidak mesti diterima dan dijalani oleh komunitas masyarakat yang lain. Itulah sebabnya komunitas itu berbeda satu dengan yang lainnya. Seiring dengan berkembangnya secara bertahap rasa penghormatan komunitas yang lebih besar terhadap standar-standar miliknya sendiri, ia pun mengembangkan rasa kebencian terhadap komunitas lain dan memandang standar-standar komunitas lain tersebut sebagai lebih rendah. Gejala-gejala sektarian ini dapat kita lihat di seluruh negara sejak dahulu kala. Hal ini dominan ditemukan di kalangan para pemula dan sampai batas tertentu ditemukan pula di kalangan para madhyama-adhikari. Akan tetapi, di kalangan para uttama-adhikari, tidak ada jejak sektarianisme. Ketaatan terhadap suatu standar tertentu adalah gejala dominan sebuah komunitas masyarakat. Terdapat tiga jenis standar yakni alocakagata,alocanagata, dan alocyagata. 

Alocakagata adalah manakala orang-orang yang bermental sektarian menerima sejumlah tanda/identitas eksternal. Contoh-contoh alocakagata adalah seperti tilaka, kantimala, jubah saffron, dan pembaptisan. Berbagai macam kegiatan yang dipraktikkan dalam proses pemujaan disebut alocanagata. Contoh-contoh alocanagataadalah upacara-upacara, macam-macam jenis pertapaan, korban suci api (agnihotra), sumpah-sumpah/pantangan, studi terhadap kitab-kitab suci, pemujaan Arca, membangun tempat-tempat ibadah/kuil, memberi penghormatan kepada berbagai jenis pohon dan sungai, berpakaian seperti para sannyasi, bertindak seperti para acarya, berpakaian seperti para brahmacari atau grhastha, menutup mata, memberikan penghormatan kepada jenis-jenis kitab tertentu, aturan-aturan dalam hal makan, dan memberi penghormatan kepada kesucian dari waktu dan tempat tertentu. Contoh-contoh alocyagata adalah pemahaman personalisme atau impersonalisme tentang Tuhan, menyetanakan Arca-Arca, memperlihatkan mood dari inkarnasi Tuhan tertentu, berspekulasi tentang surga dan neraka, dan menguraikan tentang tempat tujuan yang dicapai oleh sang roh. Berbagai macam bentuk kegiatan spiritual ini menciptakan golongan-golongan sektarianisme. 

Perbedaan-perbedaan yang timbul akibat tempat, waktu, bahasa, perilaku, makanan, pakaian dan sifat-sifat bawaan dari berbagai komunitas disatukan/dilebur ke dalam praktik-praktik spiritual yang dijalani orang-orang dan berangsur-angsur hal itu menyebabkan satu komunitas menjadi berbeda sepenuhnya dengan komunitas lain hingga bahkan pertimbangan bahwa kita semua adalah umat manusia yang sama menjadi tidak dirasakan lagi. Akibat dari perbedaan-perbedaan tersebut terjadi perselisihan, menarik diri dari interaksi sosial, dan pertengkaran, bahkan hingga saling bunuh. Manakala mentalitas yang bagaikan-keledai menjadi dominan di kalangan para kanistha-adhikari, tentu saja mereka pun terlibat dalam hal-hal yang disebutkan di atas. Namun jika mereka mengembangkan mentalitas yang bagaikan-angsa, maka mereka pun tidak ambil bagian lagi dalam pertengkaran. Mereka akan tekun berusaha untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi.

Para madhyama-adhikari tidak terlalu banyak bertengkar mengenai standar-standar eksternal (luar), namun mereka selalu mengalami perselisihan soal filsafat. Kadangkala mereka menyalahkan standar-standar yang dijalani oleh para pemula dan mempertahankan bahwa standar-standar yang mereka sendiri jalani adalah berkedudukan lebih tinggi. Mereka menyalahkan pemujaan Arca yang dilakukan oleh para pemula untuk menegakkan bahwa Tuhan adalah tanpa bentuk. Dalam kasus-kasus yang demikian, mereka juga dipandang sebagai orang-orang yang bermental-keledai. Karena jika tidak demikian, jika mereka memiliki mentalitas yang bagaikan-angsa dan berkeinginan untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi, mereka akan menghormati praktik-praktik yang dijalani orang lain dan mereka sendiri bertanya tentang topik-topik yang lebih tinggi dan lebih halus. Kontradiksi/pertentangan muncul hanya karena mentalitas yang bagaikan-keledai itu. Orang-orang yang bermental-angsa memandang adanya kebutuhan akan adanya praktik-praktik yang berbeda-beda sesuai dengan kepantasan/kualifikasi masing-masing orang, sehingga secara alami mereka menyisih dari pertengkaran-pertengkaran sektarian. Dalam hal ini, hendaknya dimengerti bahwa orang-orang yang bermental-keledai maupun bermental-angsa dapat ditemukan di kalangan para kanistha-adhikari dan para madhyama-adhikari. Saya tidak menaruh harapan bahwa orang-orang yang bermental-keledai akan bersedia menerima buku ini (Sri Krishna Samhita) dengan sikap hormat. 

Jika para pemula dan para madhyama-adhikari menjadi acuh sepenuhnya terhadap pertentangan-pertentangan yang nampak terdapat pada berbagai praktik dan berusaha memajukan diri lebih lanjut, maka mereka pun menjadi orang-orang yang bermental-angsa. Maka mereka adalah kawan kita yang terhormat dan terkasih. Pribadi-pribadi yang bermental-angsa, walaupun mungkin telah menjalani suatu bentuk praktik tertentu sejak lahir atau sejak kecil, bagaimana pun mereka tetap saja tidak terikat dan tidak bersikap sektarian.

Prinsip-prinsip dharma yang akan diuraikan di dalam buku ini sangatlah sulit untuk diberi nama/diistilahkan. Jika prinsip-prinsip tersebut diberikan suatu nama sektarian tertentu, maka sekte lain akan menyuarakan sikap pertentangan mereka. Karena itu, Srimad Bhagavatam telah menegakkan sanatana-dharma sebagai satvata-dharma, atau prinsip-prinsip dharma yang terkait dengan Kebenaran Mutlak. Nama lain bagi prinsip-prinsip dharma ini adalah Vaisnava-dharma. Vaisnava-Vaisnava yang bermental-keledai tergolong dalam kelompok-kelompok para Sakta (pengikut Durga), Saura (pengikut dewa matahari), Ganapatya (pengikut Ganesa), Saivit (pengikut Siva), dan Vaisnava (pengikut Visnu). Namun Vaisnava-Vaisnava yang bermental-angsa adalah non-sektarian dan karena itu mereka jarang adanya. Lima jenis spiritualis sebagaimana disebutkan di atas, seperti yang dapat ditemukan di India, diberi istilah sesuai dengan kualifikasi mereka masing-masing.

Umat manusia memiliki dua jenis kecenderungan, yakni arthika, atau material, dan paramarthika, atau spiritual. Termasuk di antara kecenderungan-kecenderungan material adalah memelihara badan, membangun rumah, menikah, mendapatkan anak, belajar, mengumpulkan kekayaan, ilmu pengetahuan material, pekerjaan pabrik, mengumpulkan dan memelihara harta benda, dan mengumpulkan pahala-pahala kegiatan saleh. Walaupun ada sejumlah kesamaan antara kegiatan-kegiatan manusia dan kegiatan binatang, bagaimana pun upaya-upaya yang bersifat material yang dilakukan manusia berkedudukan lebih tinggi daripada kecenderungan alami kaum binatang. Jika setelah melaksanakan kegiatan-kegiatan material umat manusia tidak berlindung kepada kegiatan-kegiatan yang terkait dengan kedudukan dasar mereka, maka mereka disebut binatang berkaki dua. 

Kegiatan mendasar sesosok jiwa yang murni disebut sva-dharma, atau kegiatan bawaan sesuai identitas dasar. Sva-dharma dari sesosok entitas hidup terwujud secara dominan pada keadaan keberadaannya yang suci-murni. Dalam keadaan keberadaannya yang suci-murni, sva-dharma ini hadir dalam bentuk kegiatan-kegiatan spiritual. Segala kecenderungan material yang disebutkan di atas mencapai kesuksesannya apabila dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan spiritual, jika tidak demikian kegiatan-kegiatan tersebut secara tersendiri tidak akan dapat membantu seseorang untuk mencapai tujuan tertinggi. Dari keadaan sibuk dalam kegiatan-kegiatan material sampai terbangkitkan dalam kegiatan-kegiatan spiritual disebut sebagai tingkat pendahuluan dalam kesadaran Tuhan. Dari tingkat pendahuluan ini sampai tingkat uttama-adhikari terdapat banyak sekali tingkatan antara. 

Mengajukan pertanyaan terkait dengan kebenaran tentang dunia material disebut Sakta-dharma, sebab sosok kepribadian penguasa dunia material adalah Dewi Durga. Segala perilaku dan praktik yang diajarkan dalam Sakta-dharma berguna hanya pada tingkat pendahuluan. Perilaku dan praktik yang demikian dimaksudkan untuk mengantarkan seseorang menjadi lebih dekat kepada kehidupan spiritual, dan orang yang materialistik mungkin saja terpikat oleh hal ini hanya sampai akhirnya mereka mulai bertanya tentang Kebenaran Mutlak Tertinggi. Sakta-dharma adalah upaya spiritual awal para entitas hidup, dan ia sangat-sangat penting dan diperlukan oleh orang-orang yang berada pada tingkatan tersebut. Ketika tingkat pendahuluan ini telah diperkuat lebih jauh, seseorang mencapai tingkat berikutnya. Ia kemudian mempertimbangkan tentang energi yang mendorong kegiatan dan kedudukan energi panas yang lebih tinggi daripada zat/materi yang bersifat lembam, sehingga ia pun mengakui keberadaan dewa-matahari, yang merupakan sumber energi panas, sebagai sosok pribadi yang ia puja. Pada saat itu, Saura-dharma terbangkitkan di hatinya. Berikutnya, ketika seseorang memandang energi panas pun sebagai zat/materi yang bersifat mati dan memandang kesadaran yang ada pada binatang berkedudukan lebih tinggi, ia mencapai tingkat ketiga, Ganapatya-dharma. Pada tingkat keempat, Dewa Siva dipuja sebagai kesadaran yang suci-murni milik para entitas hidup, dan Saiva-dharma pun terwujud. Pada tingkat kelima, kesadaran entitas hidup memuja sang kesadaran tertinggi, dan demikianlah Vaisnava-dharma terwujud. Menurut susunan alam, terdapat lima jenis dharma yang bersifat paramarthika, atau kewajiban-kewajiban spiritual, yang telah dikenal di seluruh dunia dengan nama-nama dan istilah-istilah yang berbeda-beda pada masa dan era yang berbeda-beda. Jika seseorang mencermati segala jenis dharma yang dipraktikkan saat ini di India maupun di luar India, ia akan dapat melihat bahwa semua bentuk dharma tersebut secara pasti akan dapat digolongkan ke dalam lima kategori ini. 

Prinsip-prinsip dharma yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad dan Yesus Kristus adalah serupa dengan prinsip-prinsip dharma yang diajarkan oleh perguruan Vaisnava. Buddhisme dan Jainisme adalah serupa dengan Saiva-dharma. Ini adalah pertimbangan secara ilmiah terhadap kebenaran-kebenaran yang terkait dengan prinsip-prinsip dharma. Orang yang menganggap prinsip-prinsip dharma yang mereka jalani adalah dharma yang sejati dan menganggap prinsip-prinsip dharma yang dijalani orang lain adalah adharma atau dharma-bawahan tidak akan mampu menemukan kebenaran karena mereka berada di bawah pengaruh prasangka. Sesungguhnya, prinsip-prinsip dharma yang dijalani oleh orang-orang pada umumnya adalah berbeda-beda hanyalah karena adanya perbedaan kepantasan/kualifikasi para praktisinya, namun prinsip-prinsip dharma yang mendasar bagi semua entitas hidup adalah satu dan sama. Tidaklah sepatutnya bagi orang-orang yang bermental-angsa untuk mendiskreditkan prinsip-prinsip dharma yang sedang dijalani oleh orang pada umumnya sesuai dengan keadaan mereka. Karena itu, dengan sikap penghormatan sepenuhnya terhadap prinsip-prinsip dharma yang dijalani oleh orang-orang pada umumnya, sekarang kita akan membahas tentang prinsip-prinsip dharma yang mendasar bagi para entitas hidup.

Satvata-dharma, atau Vaisnava-dharma yang non-sektarian, adalah prinsip-prinsip dharma yang mendasar, atau kekal, bagi para entitas hidup. Prinsip-prinsip Vaisnava yang dapat ditemukan dalam Mayavada-sampradaya hanyalah merupakan peniruan yang bersifat tidak langsung terhadap prinsip-prinsip Vaishnava-dharma. Ketika prinsip-prinsip Vaisnava yang sektarian tersebut menjadi bersifat transendental, yakni, ketika terbebas dari impersonalisme, maka prinsip-prinsip tersebut menjadi Satvata-dharma, atau prinsip-prinsip dharma yang terkait dengan Kebenaran Tertinggi. Berbagai sampradaya yang berbeda-beda, yakni dvaita (dualisme), dvaitadvaita (kesatuan dan perbedaan secara bersamaan), suddhadvaita (kesatuan yang termurnikan), dan visistadvaita (monisme yang spesifik) yang dapat ditemukan dalam satvata-dharma tidak lain hanyalah keragaman yang menakjubkan yang berupa perasaan-perasaan halus yang terdapat di dalam sains Vaisnava. Sesungguhnya adanya berbagai sampradaya tersebut bukanlah hasil dari adanya perbedaan-perbedaan pada sisi kebenaran-dasarnya.