Rabu, 30 Januari 2013

Dunia Ini Berdiri Tegak Tanpa Memerlukan Adanya Para Pembaharu

Dunia ini berdiri tegak tanpa memerlukan adanya para pembaharu. Dunia ini memiliki sosok pribadi yang sangat kompeten untuk mengarahkan segala yang terjadi di dalamnya sampai hal-hal terkecil sekalipun. Orang yang menganggap bahwa ada ruang perbaikan bagi dunia ini maka sesungguhnya dia sendirilah yang memerlukan perbaikan.

Dunia berjalan dengan caranya sendiri yang sempurna. Tidak seorang pun dapat membelokkan arah pergerakannya sebagaimana yang telah digariskan oleh takdir bahkan selebar sehelai rambut sekalipun. Ketika kita mengamati suatu perubahan sedang terjadi seiring terjadinya peristiwa-peristiwa di dunia ini melalui perantaraan individu tertentu, kita harus mengetahui secara pasti bahwa pada tahap mana pun sang perantara tersebut tidaklah memiliki kekuatan tersendiri. Sang perantara tersebut akan menemukan bahwa dirinya sedang diarahkan oleh sebuah kekuatan yang bukan berasal dari dirinya sendiri. Arah pergerakan dunia tidak perlu mengalami perubahan yang disebabkan oleh perantaraan orang mana pun.

Yang diperlukan adalah perubahan cara pandang kita terhadap dunia ini. Perubahan cara pandang tersebut dapat dicapai bagi generasi masa kini atas karunia Sri Chaitanya. Hal ini hanya dapat dimengerti oleh para penerima karunia Sri Caitanya. Kitab-kitab suci menyatakan bahwa yang diperlukan hanyalah mendengarkan nama Krishna dengan pikiran terbuka dari bibir seorang penyembah. Begitu Krishna masuk ke dalam telinga orang yang mendengarkan tersebut, Krishna menjernihkan penglihatannya hingga ia tidak lagi memiliki ambisi apa pun untuk bertindak sebagai pembaharu bagi pihak lain mana pun sebab ia mengerti bahwa tidak ada seorang pun yang tidak sedang dituntun oleh pembimbing tertinggi. Karena itu, pembaharuan dirinya sendiri lah yang terus menerus semakin mampu ia insafi, atas karunia kekal yang tanpa henti dari Tuhan Yang Mahakuasa."

— Dari The Harmonist, Mei 1932, edisi nomor 11. Artikel ini memiliki judul asli “Sree Chaitanya di India Selatan." Hal. 325-326.

Rabu, 23 Januari 2013

Kita Harus Berpikir Untuk Diri Kita Sendiri


Kutipan dari “Bhagavata (Srimad-Bhagavatam), Filosofi, Etika, dan Teologi yang Terkandung di Dalamnya”
Karya Srila Saccidananda Bhaktivinode Thakura

Kita senang membaca buku yang belum pernah kita baca sebelumnya. Kita merasa penasaran untuk dapat mengumpulkan segala informasi yang terkandung di dalamnya dan setelah kita mendapatkannya rasa penasaran kita pun terhenti. Jenis cara studi yang seperti ini sangat umum di kalangan banyak pembaca, yang merupakan tokoh-tokoh besar menurut ukuran mereka sendiri maupun menurut ukuran orang-orang yang termasuk kelompok mereka sendiri. Kenyataannya, kebanyakan pembaca semata-mata hanyalah penampung-penampung segala fakta dan pernyataan yang dibuat oleh orang lain. Namun yang demikian bukanlah studi/pembelajaran.

Seorang siswa hendaknya membaca fakta-fakta dengan sebuah maksud/pandangan untuk mencipta, mengkreasi, dan bukan dengan tujuan untuk sekadar disimpan yang tanpa membuahkan hasil. Siswa-siswa yang ibaratnya satelit-satelit hendaknya memancarkan segala cahaya yang mereka terima dari para penulis dan tidak memenjarakan fakta-fakta dan pemikiran, seperti halnya para hakim memenjarakan para narapidana.

Pemikiran itu bersifat progresif. Pemikiran sang penulis harus mengalami progres (kemajuan) pada diri sang pembaca dalam bentuk koreksi (perbaikan) ataupun pengembangan. Kritikus terbaik adalah dia yang sanggup menampilkan pengembangan lebih lanjut atas sebuah pemikiran lama; sementara orang yang semata-mata hanya meneruskan adalah musuh bagi kemajuan dan karena itu merupakan musuh Alam.

"Mulailah sesuatu yang baru," kata para kritikus, “sebab para pendakwah kuno itu tidak akan memberi jawaban saat ini.” “Biarlah para penulis lama terkubur sebab zaman mereka telah berlalu.” Semua ini adalah ungkapan-ungkapan yang dangkal. Progres (kemajuan) tentu adalah hukum alam dan pasti terjadi koreksi (perbaikan) dan pengembangan seiring dengan kemajuan zaman. Namun progres (kemajuan) berarti pergi lebih jauh atau naik lebih tinggi.

Maka, jika kita mengikuti kritikus bodoh kita di atas itu, kita akan kembali ke ujung pangkal kita sebelumnya, dan kemudian membangun sebuah jalur baru, dan ketika kita telah berlari melewati setengah jalan menelusuri jalur tersebut, kritikus lain yang sejenis itu akan berseru: "Mulailah sesuatu yang baru, sebab jalan yang telah diambil adalah jalan yang salah!" Dengan cara demikian kritikus-kritikus bodoh kita ini tidak akan pernah membiarkan kita menelusuri keseluruhan jalur dan melihat apa yang ada di ujung jalan. Demikianlah para kritikus dangkal dan para pembaca yang tidak produktif adalah dua musuh terbesar kemajuan. Kita harus menghindari mereka.

Seorang kritikus sejati, di pihak lain, menyarankan agar kita mempertahankan apa yang telah kita capai, dan menyesuaikan jalur yang kita telusuri tepat dari titik yang telah kita capai dalam jalan kemajuan kita. Ia tidak akan pernah menyarankan agar kita kembali ke titik awal kita memulainya, sebab ia mengetahui sepenuhnya bahwa jika cara tersebut diambil maka akan terjadi kerugian yang tidak produktif atas waktu dan usaha kita yang sangat berharga. Ia akan mengarahkan penyesuaian sudut arah dari jalur kita tepat pada titik di mana kita sedang berada. Ini juga adalah karakteristik dari seorang siswa yang berdayaguna.

Seorang siswa yang demikian akan membaca karya seorang penulis-purba dan akan menemukan posisi/kedudukan-persis dirinya dalam kemajuan (progres) pemikiran. Ia tidak akan pernah mengusulkan untuk memusnahkan buku karya tersebut dengan alasan bahwa buku tersebut mengandung pemikiran-pemikiran yang tidak berguna.

Tidak ada pemikiran yang tidak berguna. Pemikiran-pemikiran adalah sarana yang memungkinkan kita untuk mencapai tujuan-tujuan kita. Pembaca yang mencela sebuah pemikiran yang buruk tidak mengetahui bahwa sebuah jalan yang buruk sudah tentu dapat diperbaiki dan diubah menjadi sebuah jalan yang baik.

Sebuah pemikiran adalah jalan yang mengantarkan menuju pemikiran berikutnya. Dengan demikian, pembaca akan menemukan bahwa sebuah pemikiran yang menjadi tujuan saat ini akan menjadi sarana-sarana bagi tujuan yang lebih jauh di masa mendatang. Pemikiran-pemikiran pasti akan terus menjadi rangkaian tanpa akhir dari sarana dan tujuan, dalam kemajuan umat manusia.

Tokoh-tokoh besar reformasi akan selalu menegaskan bahwa mereka datang bukan untuk menghancurkan hukum lama melainkan untuk mewujudkannya/ memenuhi maksud dan tujuannya. Valmiki, Vyasa, Plato, Yesus, Muhammad, Confucius dan Chaitanya Mahaprabhu menegaskan kenyataan ini baik melalui ungkapan kata-kata mereka ataupun melalui perilaku mereka.

Bhagavata (Srimad-Bhagavatam), seperti halnya seluruh karya keagamaan dan filsafat serta tulisan tokoh-tokoh besar, telah menerima efek sebagai akibat dari kelalaian para pembaca yang tak berdayaguna dan para kritikus bodoh. Para pembaca yang tak berdayaguna tersebut telah menyebabkan begitu banyak kerusakan terjadi terhadap karya tersebut sehingga efek buruk yang ditimbulkan melampaui efek buruk yang ditimbulkan oleh para kritikus bodoh.

Insan-insan yang memiliki pemikiran-pemikiran yang brilian telah menjumpai karya ini dalam pencarian mereka akan kebenaran dan filosofi, namun prasangka yang mereka serap dari para pembaca yang tak berdayaguna tersebut dan perilaku yang diperlihatkan oleh para pembaca yang tak berdayaguna tersebut telah menghalangi mereka untuk melakukan investigasi/penyelidikan yang jujur dan terbuka.

Dua prinsip menggambarkan karakteristik Bhagavata—kemerdekaan (liberty) dan kemajuan sang jiwa, sepanjang keabadian. Bhagavata mengajarkan kepada kita bahwa Tuhan memberi kita kebenaran sebagaimana Dia memberikannya kepada Vyasa: yakni ketika kita benar-benar mencarinya dengan tulus.

Kebenaran itu kekal dan tak lekang oleh waktu. Jiwa menerima wahyu (revelation) ketika ia benar-benar mencari dan menginginkannya. Jiwa-jiwa para pemikir besar zaman-zaman lampau, yang kini hidup secara rohani, seringkali datang menghampiri semangat (spirit) kita untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan mendampingi dalam mencapai perkembangan. Demikianlah Vyasa didampingi oleh Narada dan Brahma. Shastra-shastra kita, atau dengan kata lain buku-buku hasil pemikiran tersebut, tidaklah mengandung segala yang akan mampu kita peroleh dari Dia Yang Tanpa Batas.
 

Tidak ada kitab/buku yang tanpa kesalahan-kesalahan sama sekali. Wahyu Tuhan adalah kebenaran mutlak, namun ia jarang sekali diterima dan dipertahankan dalam kemurniannya yang alami. Kita telah diberi petunjuk di dalam Skanda 11 Bab 14 dari Bhagavata agar percaya bahwa kebenaran ketika diwahyukan adalah mutlak, namun ia mendapatkan corak sifat yang dimiliki oleh para penerimanya seiring berjalannya waktu dan kemudian mengalami perubahan menuju kesalahan-kesalahan melalui pertukaran tangan dari zaman ke zaman. Karena itu, wahyu-wahyu yang baru terus-menerus diperlukan untuk menjaga kebenaran tersebut tetap dalam kemurnian aslinya. Karena itulah kita diberi peringatan agar berhati-hati dalam melakukan studi terhadap penulis-penulis purba, seberapa pun bijaksananya reputasi mereka.

Kita memiliki kemerdekaan penuh untuk menolak gagasan-gagasan yang keliru, yang tidak dibenarkan oleh kedamaian hati nurani. Vyasa belum puas dengan apa yang telah beliau kumpulkan dari kitab-kitab Veda, yang telah beliau susun di dalam Purana-Purana, dan juga Mahabharata. Kedamaian hati nuraninya tidak mengesahkan segala upayanya tersebut. Hati nuraninya berkata, "Tidak, Vyasa! Engkau tidak bisa puas begitu saja dengan gambaran keliru tentang kebenaran yang telah disajikan kepadamu menurut apa yang dibutuhkan oleh resi-resi zaman purba. Engkau sendiri harus mengetuk pintu gudang kebenaran yang tanpa batas itu , tempat yang menjadi sumber kekayaan resi-resi zaman purba. Pergi, pergilah naik tinggi menuju puncak kebenaran, tempat dimana tidak ada peziarah yang akan bertemu dengan kekecewaan macam apa pun."
 

Vyasa melakukannya dan mendapatkan apa yang beliau inginkan. Kita semua telah disarankan untuk melakukan seperti itu. Maka kemerdekaan (liberty) adalah prinsip yang harus kita pandang sebagai hadiah Tuhan yang paling bernilai. Kita tidak boleh membiarkan diri kita digiring oleh mereka yang telah hidup dan berpikir pada masa-masa sebelum kita. Kita harus berpikir untuk diri kita sendiri dan berusaha untuk mendapatkan kebenaran-kebenaran yang lebih jauh yang masih belum terungkap/ditemukan. Di dalam Bhagavata kita telah disarankan untuk mengambil semangat (spirit) dari shastra dan bukan kata-katanya belaka. Karena itu Bhagavata adalah sebuah agama kemerdekaan, kebenaran yang tak tercampur, dan cinta yang absolut. 

Karakteristik yang lain adalah kemajuan (progres). Kemerdekaan (liberty) tentu adalah bapak dari segala kemajuan. Kemerdekaan suci adalah penyebab dari kemajuan yang mengantarkan naik dan semakin naik menuju keabadian dan kegiatan cinta yang tanpa akhir. Pelanggaran atas kemerdekaan menyebabkan kemerosotan, dan para Vaishnava harus selalu cermat untuk menggunakan hadiah Tuhan yang mulia dan indah ini.