"To consider the facts of a situation, as opposed to what we would like or what we have imagined."
Selasa, 18 September 2012
Laki-Laki atau Perempuan?
Menurut cara pandang Vaishnava, Tuhan tidaklah diatributkan sebagai laki-laki semata (Krishna, Visnu), walau mungkin demikian yang umumnya dipahami. Tuhan menciptakan bentuk-bentuk laki-laki dan perempuan, sehingga pada kedudukan aslinya Tuhan bukanlah laki-laki atau perempuan, namun Tuhan mengambil wujud-wujud laki-laki dan perempuan (avatar) untuk berpartisipasi dalam lila(kegiatan kesenangan/bersenang-senang). Namun disebabkan oleh kompleksitas ajaran-ajaran Vaishnava, seringkali orang keliru memahami apa yang sesungguhnya dimaksud sebagai shakti danshaktiman, dimana seringkali mereka keliru memahami dengan mengira filsafat itu berarti bahwa Tuhan hanyalah shaktiman (bermakna semantik maskulin/laki-laki), sehingga kekuatan-yang-tunduk-kepada-Nya, atau shakti-Nya (bermakna semantik feminin/perempuan), adalah berbeda dengan Tuhan. Pemahaman yang otentik menyebutkan bahwa Tuhan adalah keduanya, shakti dan shaktiman. Dinyatakan secara konstan dalam Vaishnava Vedanta bahwa tidak ada perbedaan antara kekuatan (energi) Tuhan dan Tuhan-sendiri-sang-pengendali-kekuatan (sumber energi), yakni bahwa shakti danshaktiman adalah identik, atau dua aspek dari sosok yang sama. Kekuatan (energi) Tuhan dan Tuhan-sendiri-sang-pengendali-kekuatan (sumber energi) adalah dua aspek dari keseluruhan Tuhan. Oleh karena pemaknaan jender digunakan untuk menjelaskan tentang shakti dan shaktiman (karena pada umumnya laki-laki lebih kuat daripada perempuan), seringkali orang memahami penggunaan semantik itu secara terlalu harfiah—yang berujung pada gagasan bahwa Tuhan adalah laki-laki. Yang diajarkan sesungguhnya adalah bahwa Tuhan memiliki dua aspek, yakni kekuatan (energi) Tuhan, atau shakti, dan pengendali kekuatan itu (sumber energi), atau shaktiman....
Selasa, 04 September 2012
Pemikiran-Pemikiran Kita. Dari mana kah datangnya?
Istilah free will dalam Bahasa
Inggris memiliki beberapa definisi namun definisi yang paling umum digunakan
dan yang paling umum dimaksudkan sebagai free will itu adalah sebagaimana yang
terdapat dalam Oxford English Dictionary berikut ini: The power to act without
the constraints of necessity or fate; the ability to act at one’s own
discretion, atau terjemahan bebasnya dalam Bahasa Indonesia: kekuatan/kemampuan/daya
untuk bertindak tanpa kendala/batasan kebutuhan atau takdir; kemampuan untuk
bertindak atas kehendak sendiri. Sastra-sastra Veda mengajarkan bahwa kita
tidaklah memiliki free will sebagaimana yang dimaksud menurut definisi di atas.
Diajarkan bahwa kita dibatasi oleh sifat bawaan dan karma kita. Sifat dasar
sang jiva (roh/atma) diajarkan oleh Krishna di dalam Bhagavad-gita (9.10):
mayadhyakshena prakritih
suyate sa-caracaram
hetunanena kaunteya
jagad viparivarttate
Prakriti (yakni segala sesuatu di
alam semesta/energi sub-atomik) bekerja di bawah pengawasan-Ku, mayadhyakshena
prakritih, mengendalikan sepenuhnya seluruh ciptaan, suyate sa-caracaram. Demikianlah
bagaimana alam semesta ini bekerja wahai putra Kunti, hetunanena kaunteya
jagad viparivarttate.
Bhagavad-gita 13.30:
prakrityaiva ca karmani
kriyamanani sarvasah
yah pasyati tathatmanam
akarttaram sa pasyati
Segala kegiatan yang terjadi, dalam
segala keadaan, adalah dilakukan oleh prakriti, prakrtyaiva ca karmani
kriyamanani sarvasah. Orang yang melihat, yah pasyati, bahwa atma bukanlah
sang pelaku, atmanam akarttaram, dialah yang melihat dengan sebenarnya, sah
pasyati.
Setelah menyabdakan hampir
seluruh ayat Bhagavad-gita kita sampai pada beberapa sloka terakhir dimana Krishna
meringkas ajaran-Nya kepada Arjuna. Bhagavad-gita dimulai dengan pernyataan Arjuna bahwa
ia tidak akan mau bertempur. Setelah berbicara tentang sifat sejati atman dalam
hubungan dengan Param Atman, Krishna mengakhiri dengan menyampaikan sebagai
berikut kepada Arjuna (18.59-61):
yad ahankaram asritya
na yotsya iti manyase
mithyaiva vyavasayas te
prakritis tvam niyokshyati
Engkau berpikir bahwa engkau
tidak mau bertempur, na yotsya iti manyase. Tapi itu terjadi disebabkan
oleh pemahaman yang keliru tentang diri sejatimu dan tentang realitas yang
sejati, yad ahankaram asritya. Ketetapan hati yang demikian adalah sia-sia, mithyaiva
vyavasayas te, sebab prakriti akan menggerakkanmu (membuatmu bertempur), prakritis
tvam niyokshyati.
svabhava-jena kaunteya
nibaddhah svena karmana
kartum necchasi yan mohat
karishyasy avaso ‘pi tat
Kehendakmu untuk tidak bertindak
adalah ilusi, kartum necchasi yan mohat. Karena telah terikat oleh
tindakan, nibaddhah svena karmana, yang muncul dari sifat aslimu wahai
putra Kunti, svabhava-jena kaunteya, dalam keadaan yang sesungguhnya tak
berdaya, engkau akan bertindak juga, karishyasy avaso ‘pi tat.
isvarah sarva-bhutanam
hrid-dese ‘rjuna tishthati
bhramayan sarva-bhutani
yantrarudhani mayaya
Sang Pengendali Tertinggi ada di
hati semua makhluk wahai Arjuna, isvarah sarva-bhutanam hrid-dese ‘rjuna
tishthati, mengatur pergerakan semua makhluk, bhramayan sarva-bhutani, yang
duduk di atas mesin yang terbuat dari energi-Nya, yantrarudhani mayaya.
Bahkan jika kita tidak mengakui
versi-versi sastra Veda tentang realitas sejati ini, melalui logika dan
analisis dapat diperlihatkan bahwa kita tidak memiliki free will:
Bagaimanakah caranya diri kita membuat
keputusan-keputusan dan kemudian bertindak menjalankan keputusan-keputusan
tersebut? Tindakan-tindakan yang kita lakukan seolah-olah ditentukan 1) melalui
proses mengikuti pemikiran-pemikiran yang timbul di benak kita 2) melalui tindakan refleks yang spontan dan 3) melalui
kombinasi dari keduanya (1 dan 2):
1) Jika saya memutuskan untuk
menghidupkan komputer saya lalu menulis blog, tindakan tersebut nampak seolah
ditentukan oleh pemikiran-pemikiran saya. Saya berpikir bahwa saya telah
memutuskan untuk melakukan sesuatu dan kemudian saya melakukannya dengan cara
mengikuti pemikiran-pemikiran yang terus timbul di benak saya.
2) Ketika saya menulis blog ini,
jika tanpa sengaja kaki saya menendang meja dan kemudian segelas air di atas
meja hendak tumpah, tanpa berpikir terlebih dahulu saya akan berusaha menangkap
gelas itu sebelum ia tumpah. Ini adalah gerakan refleks.
3) Ketika saya menulis blog ini, pilihan
tombol-tombol keyboard yang saya tekan adalah berdasarkan pada
pemikiran-pemikiran saya, tetapi saya tidak memberitahu jari jemari saya untuk
mengetik. Saya berkeinginan untuk mengetik dan nampak seolah jari-jemari saya
bertindak di bawah kekuatan mereka sendiri seiring dengan munculnya kata-kata
di dalam pikiran saya yang hendak saya ketikkan. Tindakan saya mengetik
kata-kata tersebut adalah gabungan dari pemikiran dan gerakan refleks.
Nampak seolah-olah
pemikiran-pemikiran saya lah yang menyebabkan sebagian besar tindakan-tindakan
saya. Namun dapat ditunjukkan secara logis bahwa kita tidaklah mengendalikan pemahaman
akan pemikiran-pemikiran kita:
Bagaimanakah sesungguhnya kita
mengalami pemikiran-pemikiran kita? Pemikiran-pemikiran muncul baik sebagai
kata-kata atau dialog kata-kata di dalam pikiran kita. Terasa seolah kita
mendengar pemikiran-pemikiran tersebut. Pemikiran-pemikiran kita itu nampak
seolah adalah sejenis suara namun tanpa tersusun atas gelombang-gelombang suara.
Kita mendengar pemikiran-pemikiran kita dengan cara yang berbeda dengan
bagaimana kita mendengar gelombang-gelombang suara melalui telinga. Ketika
kita mendengar suara melalui telinga maka suara itu harus tercipta melalui
sebuah vibrasi/getaran yang menyebabkan perubahan keseimbangan pada sebuah
medium, misalnya udara ataupun air. Kemudian telinga menangkap vibrasi
tersebut. Ketika kita menekan sebuah tombol piano maka vibrasi yang tercipta di
udara menciptakan gelombang-gelombang suara, yang kemudian menggetarkan gendang
telinga dan memungkinkan kita untuk mendengar suara yang dihasilkan
tersebut.
Sementara, apa yang menyebabkan
timbulnya suara pemikiran-pemikiran kita? Apakah diri kita yang merupakan
penyebab suara-suara pemikiran tersebut? Jika demikian, bagaimana kita
melakukannya? Kita tidak tahu. Yang kita ketahui hanyalah bahwa
pemikiran-pemikiran muncul di dalam pikiran dan kita bisa mendengarnya dan
biasanya kita meyakini bahwa kita lah yang menyebabkan pemikiran-pemikiran itu
muncul. Namun kenyataannya kita tidaklah tahu bagaimana proses untuk membuat
pemikiran-pemikiran itu timbul.
Adakah yang bisa memberitahu
proses apakah yang terjadi yang terbukti memberi kita kendali atas
pemikiran-pemikiran yang muncul di benak kita? Kita tidak tahu proses apa yang
terjadi dan di mana proses itu terjadi. Karena itulah kita tidak dapat
mengatakan bahwa kita tahu bagaimana cara mengendalikannya. Pemikiran-pemikiran
muncul di dalam pikiran kita dan kita tidak punya gagasan yang dapat dibuktikan
tentang bagaimana hal tersebut terjadi. Mengapa kita harus meyakini bahwa kita
memiliki kendali atas pemikiran-pemikiran kita jika kita tidak mengetahui
bagaimana sesungguhnya proses untuk menciptakan dan mengendalikan pemikiran itu
terjadi?
Bagaimanakah cara kita untuk
mengerti pemikiran-pemikiran kita? Pemikiran-pemikiran mengalir melalui pikiran dalam bentuk satu atau beberapa jenis bahasa. Bagaimanakah cara kita
memahami bahasa-bahasa? Bagaimana cara kita mengetahui makna dari kata-kata dan
juga tata bahasa? Misalkan saya mengalami sebuah pemikiran: Saya hendak
memasak nasi—bagaimana cara saya memahami apa artinya kata nasi itu? Orang
mungkin akan menjawab bahwa saya telah menjalani pengalaman pembelajaran
terhadap kata-kata tersebut. Sekarang saya telah mengerti arti kata-kata
tersebut sebab saya mengingat apa yang telah saya pelajari. Terdengar masuk
akal. Tetapi, bagaimanakah caranya saya mengingat? Bagaimanakah caranya ingatan
akan arti kata-kata tersebut menjadi saya ketahui saat ini?
Saya mengetahui melalui ingatan
akan pengalaman sebelumnya bahwa kata nasi berarti biji dari tumbuhan padi. Di mana
kah tempat tersimpannya ingatan akan kata nasi itu dan bagaimana caranya kemudian
ingatan itu menjadi tersedia bagi saya? Bagaimana pun caranya hal itu terjadi, yang
pasti adalah bahwa saya mengetahui satu hal: saya tahu bahwa saya tidak
memiliki kendali atas bagaimana pengalaman-pengalaman masa lalu saya tersimpan
atau dibuat menjadi tersedia bagi saya sebagai ingatan saya. Kemampuan untuk
mengendalikan ingatan tersebut berada di luar kendali saya. Sebagai contoh:
Jika saya meminta agar Anda menjelaskan alur cerita sebuah film yang baru saja Anda
saksikan, maka apakah yang Anda kerjakan untuk menemukan ingatan tentang film
itu ketika Anda berusaha untuk menceritakan kembali apa yang Anda lihat di dalam film itu? Tidak ada
satu hal pun yang dapat kita lakukan. Kita tidak tahu di mana atau bagaimana
menemukan sebuah ingatan. Ingatan itu muncul begitu saja di dalam pikiran.
Anda tidak mencarinya sebab Anda tidak tahu di mana dan juga bagaimana caranya
melakukan pencarian. Bagaimana pun caranya ingatan kita berfungsi, yang jelas
adalah bukan disebabkan oleh kendali kita atas ingatan-ingatan tersebut.
Apa yang dapat kita simpulkan?:
1) Untuk dapat memahami
pemikiran-pemikiran kita, kita memerlukan ingatan untuk mengerti bahasa dari
pemikiran-pemikiran kita.
2) Kita tidak mengendalikan
ingatan.
3) Kita tidak tahu tersusun atas “suara”
apakah pemikiran-pemikiran kita, dan kita juga tidak tahu bagaimana menciptakan
dan mengendalikan suara pemikiran tersebut. Karena itu kita sesungguhnya tidak
mengetahui bagaimana pemikiran-pemikiran kita muncul.
4) Pemikiran-pemikiran muncul di
dalam pikiran kita tanpa kita mengetahui bagaimana menciptakan ataupun
mengendalikannya, atau bahkan apa sesungguhnya pemikiran itu kita tidak
tahu. Ingatan memungkinkan kita untuk mengerti bahasa dari pemikiran-pemikiran
kita. Kita mengerti bahasa dari pemikiran-pemikiran kita tanpa kita sendiri
mengendalikan ataupun mengerti bagaimana cara berfungsinya ingatan kita.
5) Jika kita melakukan tindakan-tindakan
yang berdasarkan pada pemikiran-pemikiran kita–dapat diperlihatkan bahwa kita bukanlah
yang mengendalikan tindakan-tindakan kita sebab kita tidak tahu bagaimana
mengendalikan terciptanya maupun proses pemahaman terhadap pemikiran-pemikiran
kita.
Jadi bahkan jika kita tidak mempercayai
sastra ketika dijelaskan bahwa kita tidak memiliki free will, ketika dijelaskan
bahwa Paramatma mengendalikan kita dengan cara menjalankan fungsi sebagai
pikiran kita dan mengendalikan pikiran kita, tetap saja masih dapat
diperlihatkan melalui analisis logis bahwa kita tidaklah mengendalikan proses
pemikiran kita. Karena itu, kita tidak memiliki kendali atas tindakan-tindakan
atau kehendak-kehendak kita.
Akan banyak yang beragumen: Kita
pasti memiliki free will. Jika tidak demikian bagaimana mungkin kita memiliki karma?
Bagaimana mungkin kita tetap dituntut bertanggungjawab atas pilihan-pilihan
kita jika kita tidak memiliki free will?
Sastra dan analisis logis
menjelaskan kepada kita bahwa kita tidak memiliki free will, yakni kekuatan/kemampuan/daya
untuk bertindak tanpa kendala/batasan kebutuhan atau takdir; kemampuan untuk
bertindak atas kehendak sendiri.
Kita memiliki kemampuan bawaan
untuk menginginkan, tetapi bukan free will untuk melaksanakan keinginan
tersebut. Bhakti adalah soal menyucikan keinginan melalui dihancurkannya avidya
(kebodohan/keadaan tidak berpengetahuan) dan ahankara (keakuan palsu). Kita tidak
memiliki free will untuk memilih jalan apa yang akan kita lalui dalam segala
yang kita lakukan atau alami. Disebabkan oleh keinginan kita untuk menjadi
bebas tersendiri dari realitas tentang bagaimana sesungguhnya keberadaan kita, disebabkan
oleh keinginan kita untuk tidak menjalani hidup di bawah kendali pihak lain
(Tuhan), kita akhirnya ditempatkan dalam sebuah keadaan dimana berangsur-angsur
kita akan menyucikan keinginan kita. Kita tidak memiliki pilihan lain selain
berada di bawah kendali pihak lain. Kita benar-benar tidak bisa memiliki
keberadaan yang tanpa berada di bawah kendali Tuhan. Kita bergantung sepenuhnya
kepada Tuhan dalam hal kemampuan kita untuk menjalankan fungsi sebagai makhluk
yang berkecerdasan. Kita tidak mampu mengendalikan pemikiran-pemikiran kita,
ingatan kita, tindakan-tindakan kita. Kita benar-benar tidak memiliki kemampuan
seperti kemampuan yang dimiliki Tuhan untuk memiliki keberadaan secara bebas
tersendiri.
Sang jiva akan terus mengalami
kelahiran demi kelahiran dalam keadaan disesatkan oleh avidya dan ahankara sampai
keinginan mereka disucikan. Keinginan mereka membentuk tindakan-tindakan mereka,
bukan atas free will mereka sendiri, melainkan atas will dari Paramatma dalam
memutuskan apa yang pelu dialami sang jiva untuk dapat terbebas dari sikap
penolakan terhadap kendali Tuhan.
Karma jauh lebih kompleks daripada apa yang
sering dipikirkan orang. Seringkali karma dipandang secara sederhana sebagai aksi-reaksi—jika
kita berbuat buruk maka kita akan dihukum. Realitasnya adalah bahwa karma didesain
untuk menyucikan keinginan sang jiva. Karma bukan soal pembalasan dendam, melainkan
adalah soal mengubah sikap penolakan menjadi penerimaan terhadap pengendalian
Tuhan. Penyebab jiva menjadi tunduk di bawah hukum karma dan samsara adalah
karena jiva tidak ingin menerima realitas dari keberadaan sejatinya yang adalah
bagian dari Tuhan dan berada di bawah kendali Tuhan.
Langganan:
Postingan (Atom)