Sabtu, 14 September 2013

Vaisnava-Dharma yang Non-Sektarian

Di dalam Kata Pengantar dari karya besar beliau yang berjudul Sri Krishna Samhita, Srila Bhaktivinode Thakur menulis tentang sifat dan keadaan dari sektarianisme. Tulisan beliau ini sangat menarik untuk dicermati dan didalami, karena memberikan gambaran yang sangat universal tentang kedudukan dari filsafat Gaudiya Vaishnava. 

---------------------------------------

Orang-orang di India dan juga di negara-negara lainnya dapatlah kita bagi menjadi dua kategori, yakni mereka yang bagaikan-keledai/ bermental-keledai (asslike) dan mereka yang bagaikan-angsa/ bermental-angsa (swanlike). Di antara dua kategori ini, mereka yang bermental-keledai adalah mayoritas. Mereka yang bermental-angsa merupakan minoritas. Orang yang bermental-angsa mengambil intisari dari penjelasan-penjelasan sastra/kitab suci untuk tercapainya kemajuan pemahaman spiritual mereka dan dengan demikian mereka pun mendapatkan manfaat dari sastra.

Semua orang memiliki hak untuk membahas topik-topik spiritual. Namun walau demikian kita dapat membagi orang-orang menjadi tiga kategori sesuai dengan kepantasan/kualifikasi mereka. Orang-orang yang tidak memiliki kemampuan diskriminasi (pembedaan) yang mandiri dan berdikari adalah termasuk dalam kategori pertama dan mereka disebut sebagai para pemula, atau mereka yang keyakinannya (sraddha) masih lunak. Tidak ada alternatif lain bagi keyakinan/sraddha mereka. Jika mereka tidak mengakui sebagai perintah Tuhan, segala yang ditulis oleh penyusun kitab suci, maka mereka jatuh. Mereka hanya memiliki kepantasan/kualifikasi untuk mengerti makna-makna kasar dari ilmu pengetahuan tentang Krishna; mereka tidak memiliki kualifikasi untuk mengerti makna-makna yang halus. Sebelum mereka mampu mencapai kemajuan lebih lanjut secara bertahap melalui pergaulan yang baik dengan orang-orang yang lebih maju dan menerima petunjuk-petunjuk di tengah pergaulan tersebut, maka mereka hendaknya berusaha untuk mencapai kemajuan di bawah perlindungan keyakinan/sraddha. Orang-orang yang belum berhasil menghubungkan/mengkaitkan sraddha dengan argumentasi adalah orang-orang tingkatan kedua, atau para madhyama-adhikari. Dan orang-orang yang ahli dalam menghubungkan sraddha dengan argumentasi adalah sempurna dalam segala hal. Mereka mampu mencapai kesempurnaan dengan menggunakan sumber-sumber daya material dalam upaya-upaya mandiri dan berdikari mereka sendiri. Mereka disebut insan-insan yang paling mulia, atau para uttama-adhikari.

Sektarianisme adalah sebuah produk sampingan yang alami yang berasal dari Kebenaran Mutlak. Ketika paraacarya pertama kali menentukan dan mengajarkan tentang Kebenaran, Kebenaran tersebut belum tercemari oleh sektarianisme. Namun aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang diterima melalui rangkaian garis perguruan terkait dengan tujuan dan metode untuk mencapai tujuan tersebut mengalami perubahan seiring berjalannya waktu sesuai dengan mentalitas dan tempat beradanya orang-orang. Sebuah aturan yang dijalani oleh sebuah komunitas masyarakat tidak mesti diterima dan dijalani oleh komunitas masyarakat yang lain. Itulah sebabnya komunitas itu berbeda satu dengan yang lainnya. Seiring dengan berkembangnya secara bertahap rasa penghormatan komunitas yang lebih besar terhadap standar-standar miliknya sendiri, ia pun mengembangkan rasa kebencian terhadap komunitas lain dan memandang standar-standar komunitas lain tersebut sebagai lebih rendah. Gejala-gejala sektarian ini dapat kita lihat di seluruh negara sejak dahulu kala. Hal ini dominan ditemukan di kalangan para pemula dan sampai batas tertentu ditemukan pula di kalangan para madhyama-adhikari. Akan tetapi, di kalangan para uttama-adhikari, tidak ada jejak sektarianisme. Ketaatan terhadap suatu standar tertentu adalah gejala dominan sebuah komunitas masyarakat. Terdapat tiga jenis standar yakni alocakagata,alocanagata, dan alocyagata. 

Alocakagata adalah manakala orang-orang yang bermental sektarian menerima sejumlah tanda/identitas eksternal. Contoh-contoh alocakagata adalah seperti tilaka, kantimala, jubah saffron, dan pembaptisan. Berbagai macam kegiatan yang dipraktikkan dalam proses pemujaan disebut alocanagata. Contoh-contoh alocanagataadalah upacara-upacara, macam-macam jenis pertapaan, korban suci api (agnihotra), sumpah-sumpah/pantangan, studi terhadap kitab-kitab suci, pemujaan Arca, membangun tempat-tempat ibadah/kuil, memberi penghormatan kepada berbagai jenis pohon dan sungai, berpakaian seperti para sannyasi, bertindak seperti para acarya, berpakaian seperti para brahmacari atau grhastha, menutup mata, memberikan penghormatan kepada jenis-jenis kitab tertentu, aturan-aturan dalam hal makan, dan memberi penghormatan kepada kesucian dari waktu dan tempat tertentu. Contoh-contoh alocyagata adalah pemahaman personalisme atau impersonalisme tentang Tuhan, menyetanakan Arca-Arca, memperlihatkan mood dari inkarnasi Tuhan tertentu, berspekulasi tentang surga dan neraka, dan menguraikan tentang tempat tujuan yang dicapai oleh sang roh. Berbagai macam bentuk kegiatan spiritual ini menciptakan golongan-golongan sektarianisme. 

Perbedaan-perbedaan yang timbul akibat tempat, waktu, bahasa, perilaku, makanan, pakaian dan sifat-sifat bawaan dari berbagai komunitas disatukan/dilebur ke dalam praktik-praktik spiritual yang dijalani orang-orang dan berangsur-angsur hal itu menyebabkan satu komunitas menjadi berbeda sepenuhnya dengan komunitas lain hingga bahkan pertimbangan bahwa kita semua adalah umat manusia yang sama menjadi tidak dirasakan lagi. Akibat dari perbedaan-perbedaan tersebut terjadi perselisihan, menarik diri dari interaksi sosial, dan pertengkaran, bahkan hingga saling bunuh. Manakala mentalitas yang bagaikan-keledai menjadi dominan di kalangan para kanistha-adhikari, tentu saja mereka pun terlibat dalam hal-hal yang disebutkan di atas. Namun jika mereka mengembangkan mentalitas yang bagaikan-angsa, maka mereka pun tidak ambil bagian lagi dalam pertengkaran. Mereka akan tekun berusaha untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi.

Para madhyama-adhikari tidak terlalu banyak bertengkar mengenai standar-standar eksternal (luar), namun mereka selalu mengalami perselisihan soal filsafat. Kadangkala mereka menyalahkan standar-standar yang dijalani oleh para pemula dan mempertahankan bahwa standar-standar yang mereka sendiri jalani adalah berkedudukan lebih tinggi. Mereka menyalahkan pemujaan Arca yang dilakukan oleh para pemula untuk menegakkan bahwa Tuhan adalah tanpa bentuk. Dalam kasus-kasus yang demikian, mereka juga dipandang sebagai orang-orang yang bermental-keledai. Karena jika tidak demikian, jika mereka memiliki mentalitas yang bagaikan-angsa dan berkeinginan untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi, mereka akan menghormati praktik-praktik yang dijalani orang lain dan mereka sendiri bertanya tentang topik-topik yang lebih tinggi dan lebih halus. Kontradiksi/pertentangan muncul hanya karena mentalitas yang bagaikan-keledai itu. Orang-orang yang bermental-angsa memandang adanya kebutuhan akan adanya praktik-praktik yang berbeda-beda sesuai dengan kepantasan/kualifikasi masing-masing orang, sehingga secara alami mereka menyisih dari pertengkaran-pertengkaran sektarian. Dalam hal ini, hendaknya dimengerti bahwa orang-orang yang bermental-keledai maupun bermental-angsa dapat ditemukan di kalangan para kanistha-adhikari dan para madhyama-adhikari. Saya tidak menaruh harapan bahwa orang-orang yang bermental-keledai akan bersedia menerima buku ini (Sri Krishna Samhita) dengan sikap hormat. 

Jika para pemula dan para madhyama-adhikari menjadi acuh sepenuhnya terhadap pertentangan-pertentangan yang nampak terdapat pada berbagai praktik dan berusaha memajukan diri lebih lanjut, maka mereka pun menjadi orang-orang yang bermental-angsa. Maka mereka adalah kawan kita yang terhormat dan terkasih. Pribadi-pribadi yang bermental-angsa, walaupun mungkin telah menjalani suatu bentuk praktik tertentu sejak lahir atau sejak kecil, bagaimana pun mereka tetap saja tidak terikat dan tidak bersikap sektarian.

Prinsip-prinsip dharma yang akan diuraikan di dalam buku ini sangatlah sulit untuk diberi nama/diistilahkan. Jika prinsip-prinsip tersebut diberikan suatu nama sektarian tertentu, maka sekte lain akan menyuarakan sikap pertentangan mereka. Karena itu, Srimad Bhagavatam telah menegakkan sanatana-dharma sebagai satvata-dharma, atau prinsip-prinsip dharma yang terkait dengan Kebenaran Mutlak. Nama lain bagi prinsip-prinsip dharma ini adalah Vaisnava-dharma. Vaisnava-Vaisnava yang bermental-keledai tergolong dalam kelompok-kelompok para Sakta (pengikut Durga), Saura (pengikut dewa matahari), Ganapatya (pengikut Ganesa), Saivit (pengikut Siva), dan Vaisnava (pengikut Visnu). Namun Vaisnava-Vaisnava yang bermental-angsa adalah non-sektarian dan karena itu mereka jarang adanya. Lima jenis spiritualis sebagaimana disebutkan di atas, seperti yang dapat ditemukan di India, diberi istilah sesuai dengan kualifikasi mereka masing-masing.

Umat manusia memiliki dua jenis kecenderungan, yakni arthika, atau material, dan paramarthika, atau spiritual. Termasuk di antara kecenderungan-kecenderungan material adalah memelihara badan, membangun rumah, menikah, mendapatkan anak, belajar, mengumpulkan kekayaan, ilmu pengetahuan material, pekerjaan pabrik, mengumpulkan dan memelihara harta benda, dan mengumpulkan pahala-pahala kegiatan saleh. Walaupun ada sejumlah kesamaan antara kegiatan-kegiatan manusia dan kegiatan binatang, bagaimana pun upaya-upaya yang bersifat material yang dilakukan manusia berkedudukan lebih tinggi daripada kecenderungan alami kaum binatang. Jika setelah melaksanakan kegiatan-kegiatan material umat manusia tidak berlindung kepada kegiatan-kegiatan yang terkait dengan kedudukan dasar mereka, maka mereka disebut binatang berkaki dua. 

Kegiatan mendasar sesosok jiwa yang murni disebut sva-dharma, atau kegiatan bawaan sesuai identitas dasar. Sva-dharma dari sesosok entitas hidup terwujud secara dominan pada keadaan keberadaannya yang suci-murni. Dalam keadaan keberadaannya yang suci-murni, sva-dharma ini hadir dalam bentuk kegiatan-kegiatan spiritual. Segala kecenderungan material yang disebutkan di atas mencapai kesuksesannya apabila dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan spiritual, jika tidak demikian kegiatan-kegiatan tersebut secara tersendiri tidak akan dapat membantu seseorang untuk mencapai tujuan tertinggi. Dari keadaan sibuk dalam kegiatan-kegiatan material sampai terbangkitkan dalam kegiatan-kegiatan spiritual disebut sebagai tingkat pendahuluan dalam kesadaran Tuhan. Dari tingkat pendahuluan ini sampai tingkat uttama-adhikari terdapat banyak sekali tingkatan antara. 

Mengajukan pertanyaan terkait dengan kebenaran tentang dunia material disebut Sakta-dharma, sebab sosok kepribadian penguasa dunia material adalah Dewi Durga. Segala perilaku dan praktik yang diajarkan dalam Sakta-dharma berguna hanya pada tingkat pendahuluan. Perilaku dan praktik yang demikian dimaksudkan untuk mengantarkan seseorang menjadi lebih dekat kepada kehidupan spiritual, dan orang yang materialistik mungkin saja terpikat oleh hal ini hanya sampai akhirnya mereka mulai bertanya tentang Kebenaran Mutlak Tertinggi. Sakta-dharma adalah upaya spiritual awal para entitas hidup, dan ia sangat-sangat penting dan diperlukan oleh orang-orang yang berada pada tingkatan tersebut. Ketika tingkat pendahuluan ini telah diperkuat lebih jauh, seseorang mencapai tingkat berikutnya. Ia kemudian mempertimbangkan tentang energi yang mendorong kegiatan dan kedudukan energi panas yang lebih tinggi daripada zat/materi yang bersifat lembam, sehingga ia pun mengakui keberadaan dewa-matahari, yang merupakan sumber energi panas, sebagai sosok pribadi yang ia puja. Pada saat itu, Saura-dharma terbangkitkan di hatinya. Berikutnya, ketika seseorang memandang energi panas pun sebagai zat/materi yang bersifat mati dan memandang kesadaran yang ada pada binatang berkedudukan lebih tinggi, ia mencapai tingkat ketiga, Ganapatya-dharma. Pada tingkat keempat, Dewa Siva dipuja sebagai kesadaran yang suci-murni milik para entitas hidup, dan Saiva-dharma pun terwujud. Pada tingkat kelima, kesadaran entitas hidup memuja sang kesadaran tertinggi, dan demikianlah Vaisnava-dharma terwujud. Menurut susunan alam, terdapat lima jenis dharma yang bersifat paramarthika, atau kewajiban-kewajiban spiritual, yang telah dikenal di seluruh dunia dengan nama-nama dan istilah-istilah yang berbeda-beda pada masa dan era yang berbeda-beda. Jika seseorang mencermati segala jenis dharma yang dipraktikkan saat ini di India maupun di luar India, ia akan dapat melihat bahwa semua bentuk dharma tersebut secara pasti akan dapat digolongkan ke dalam lima kategori ini. 

Prinsip-prinsip dharma yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad dan Yesus Kristus adalah serupa dengan prinsip-prinsip dharma yang diajarkan oleh perguruan Vaisnava. Buddhisme dan Jainisme adalah serupa dengan Saiva-dharma. Ini adalah pertimbangan secara ilmiah terhadap kebenaran-kebenaran yang terkait dengan prinsip-prinsip dharma. Orang yang menganggap prinsip-prinsip dharma yang mereka jalani adalah dharma yang sejati dan menganggap prinsip-prinsip dharma yang dijalani orang lain adalah adharma atau dharma-bawahan tidak akan mampu menemukan kebenaran karena mereka berada di bawah pengaruh prasangka. Sesungguhnya, prinsip-prinsip dharma yang dijalani oleh orang-orang pada umumnya adalah berbeda-beda hanyalah karena adanya perbedaan kepantasan/kualifikasi para praktisinya, namun prinsip-prinsip dharma yang mendasar bagi semua entitas hidup adalah satu dan sama. Tidaklah sepatutnya bagi orang-orang yang bermental-angsa untuk mendiskreditkan prinsip-prinsip dharma yang sedang dijalani oleh orang pada umumnya sesuai dengan keadaan mereka. Karena itu, dengan sikap penghormatan sepenuhnya terhadap prinsip-prinsip dharma yang dijalani oleh orang-orang pada umumnya, sekarang kita akan membahas tentang prinsip-prinsip dharma yang mendasar bagi para entitas hidup.

Satvata-dharma, atau Vaisnava-dharma yang non-sektarian, adalah prinsip-prinsip dharma yang mendasar, atau kekal, bagi para entitas hidup. Prinsip-prinsip Vaisnava yang dapat ditemukan dalam Mayavada-sampradaya hanyalah merupakan peniruan yang bersifat tidak langsung terhadap prinsip-prinsip Vaishnava-dharma. Ketika prinsip-prinsip Vaisnava yang sektarian tersebut menjadi bersifat transendental, yakni, ketika terbebas dari impersonalisme, maka prinsip-prinsip tersebut menjadi Satvata-dharma, atau prinsip-prinsip dharma yang terkait dengan Kebenaran Tertinggi. Berbagai sampradaya yang berbeda-beda, yakni dvaita (dualisme), dvaitadvaita (kesatuan dan perbedaan secara bersamaan), suddhadvaita (kesatuan yang termurnikan), dan visistadvaita (monisme yang spesifik) yang dapat ditemukan dalam satvata-dharma tidak lain hanyalah keragaman yang menakjubkan yang berupa perasaan-perasaan halus yang terdapat di dalam sains Vaisnava. Sesungguhnya adanya berbagai sampradaya tersebut bukanlah hasil dari adanya perbedaan-perbedaan pada sisi kebenaran-dasarnya.

Kamis, 11 Juli 2013

Hanya Akan Menjadi Sarana Perdebatan Yang Tak Berujung

Ketika dijelaskan bahwa Krishna adalah "nirguna" atau "nirakara", yang sedang dijelaskan adalah tentang apa-apa yang bukan Krishna, atau sifat/keadaan yang bukan Krishna. Jadi dapat dikatakan bahwa ini adalah cara persepsi yang negatif, atau menegasikan, yakni dengan mengemukakan apa yang bukan. Sebagai sekedar kata-kata, kesimpulan seperti ini sesungguhnya adalah tidak sejati.

Demikian pula sebaliknya. Pendekatan positif dengan menyatakan bahwa Krishna adalah “anandamaya” atau "saguna", yakni penuh dengan sifat-sifat rohani seperti kebahagiaan kekekalan, dsb., bila hanya pada tataran kata-kata sesungguhnya itu sama tidak sejatinya dengan yang sebelumnya.

Mengapa demikian? Karena bila hanya sekedar kata-kata maka realitas yang sejati masih belum dijangkau. Ananda, atau kebahagiaan, akan dipahami berbeda-beda oleh orang dengan tingkat kesadaran yang berbeda-beda. Secara umum orang akan memaknai kebahagiaan itu sebagai kepuasan, atau kenikmatan, yang terjadi dari kontak indera-indera dengan obyek-obyek indera. Itu tentu bukanlah ananda. Maka sesungguhnya kebanyakan orang belum akan mampu mengerti dengan benar apa ananda itu. Dalam keadaan demikian, jika kita membicarakan Krishna sebagai sumber kebahagiaan atau "anandamaya", maka orang akan memaknainya keliru yakni ke arah kepuasan kasar indera-indera jasmani. Akibatnya, terjadilah materialisasi hal-hal spiritual, atau pemaknaan yang dangkal terhadap realitas spiritual, dan ini banyak terjadi bahkan juga di kalangan para penyembah/Vaishnava yang masih pemula. 

Hal yang serupa terjadi pula pada cara persepsi negatif. Pemaknaan yang keliru terhadap negasi atau "hal-hal yang bukan" akan mengantarkan pada kehampaan atau kekosongan yang dangkal, yang terasa hambar dan banyak dapat kita temukan pada filsafat para penekun Upanisad pemula. 

Akar permasalahan dari kedua sisi kelompok pemahaman ini adalah kekeliruan menganggap konsep sebagai realitas sejati. Konsep-konsep pada tataran pikiran dan kecerdasan dianggap sebagai kesejatian, atau disamakan dengan kebenaran/realitas tertinggi yang sejati.

Ketika realitas yang sejati telah benar-benar dicapai dan dialami, penyebutan Kebenaran Mutlak itu sebagai Krishna, Brahman, Paramatma, Allah, Sang Hyang Widhi, dll., baru akan bermuatan makna yang sejati, yang berbeda dengan pemaknaan orang-orang yang masih pada tataran konsep-konsep intelektual. Seseorang baru akan benar-benar mengerti dan menginsafi bagaimana Kebenaran Mutlak adalah "nirguna" atau "nirakara" tetapi sama sekali bukan hampa atau kosong, dan demikian pula bagaimana Kebenaran Mutlak adalah "anandamaya", namun sama sekali bukan sekedar kepuasan atau kenikmatan dangkal.

Sebelum pengetahuan sejati dan pengalaman keinsafan-langsung benar-benar diperoleh, kita masih akan berada pada tataran non-realitas, tidak memandang betapa pun canggih dan rumit serta tingginya konsep-konsep yang kita pegang. Maka pada tataran konsep pemahaman intelektual, para pemula akan terus saja berbeda pendapat dan saling memandang rendah.

Para penekun Upanisad
memandang remeh para Vaishnava atas konsep kekongkritan Kebenaran Mutlak yang berupa nama, bentuk, sifat dan kegiatan Kebenaran mutlak, yang dianut oleh para Vaishnava, demikian pula para Vaishnava memandang remeh para penekun Upanisad dengan menganggapnya hambar, hampa, kosong, kering.

Semua konsep tersebut hanyalah ibaratnya jubah-jubah luar yang berbeda-beda. Sebelum kita benar-benar menjangkau Realitas Sejati, dan mendekatinya melalui pengalaman-langsung, semua konsep itu hanya akan menjadi sarana perdebatan, sarana perselisihan, yang tak berujung.


Apakah sesungguhnya yang dimaksudkan oleh para Rishi ketika mereka menyebut Dia "nirakara"? Apakah yang sesungguhnya dimaksudkan oleh Sang Buddha ketika menyebut Dia "anatman"? Apakah sesungguhnya yang dimaksudkan oleh para Vaisnava ketika menyebut Dia akhila-rasamrita murti? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini dapat ditemukan dalam ranah pengalaman, tidak bisa semata-mata pada ranah dialektika/argumentasi logika. Ketika cahaya keinsafan melalui pengalaman-langsung terpancar dan mengisi/memuati konsep-konsep yang hampa itu, maka baru penerimaan atau pemahaman mengalir masuk bagaikan lautan dan kita dapat mengetahui dengan sesungguhnya mengapa istilah-istilah tersebut di atas digunakan.

Senin, 20 Mei 2013

KRISHNA, Transenden dan Imanen


Alkisah seorang yang beriman sedang terjebak banjir yang terus semakin meninggi. Ia memilih untuk terus bertahan di rumahnya, sementara orang lain berhamburan menyelamatkan diri. Ia naik ke loteng rumahnya seiring makin meningginya banjir, sambil berpengharapan bahwa Tuhan pasti akan menyelamatkan dirinya karena merasa dirinya sebagai orang yang sepanjang hidupnya taat menjalankan perintah-perintah Tuhan. Tim penyelamatan banjir mulai mengirimkan perahu untuk menjemput orang beriman itu ke tempat aman, namun ia menolaknya sambil terus berpikir bahwa Tuhan lah yang akan menyelamatkan dirinya. Sampai tiga kali perahu datang menjemput namun ia masih lebih memilih untuk bertahan di loteng rumahnya sampai akhirnya tinggi banjir menyapu loteng rumahnya dan hanyutlah dia. Setelah meninggal dunia, dikisahkan bahwa dia bertemu Tuhan dan ia pun menuntut, “Tuhanku, aku adalah hamba-Mu yang beriman kepada-Mu, tetapi mengapa Engkau tidak menyelamatkan aku dari banjir?” Tuhanpun kemudian menjawab, “Bukankah AKU telah mengirimkan tiga perahu untuk menyelamatkan dirimu?”

Ilustrasi di atas pasti sudah pernah kita baca atau dengar, yang dipakai untuk menggambarkan bagaimana sesungguhnya “tangan-tangan Tuhan” itu ada dekat dengan kita, senantiasa hadir dengan cara yang tidak terbatas. Bisa jadi hadirnya tangan-tangan Tuhan itu dalam bentuk nasihat, tulisan, bantuan, guncangan, senyuman, sentilan, makian, tangisan, pujian atau dalam bentuk yang lain. Pertanyaannya adalah apakah kita sudah cukup peka terhadap hadirnya Tuhan di hadapan kita? Ataukah justru kita sedang terus mengabaikannya?

Keinsafan akan Tuhan yang transenden, yakni Tuhan yang berada nun jauh di sana, di kediaman-Nya, adalah keinsafan tingkat pemula dalam jalan spiritual. Keinsafan yang lebih maju adalah keinsafan akan Tuhan yang imanen, yakni Tuhan yang dirasakan senantiasa hadir pada setiap kejadian, di segala ruang dan waktu. Keinsafan akan Tuhan yang imanen tidak berarti meniadakan keberadaan Tuhan yang transenden. Tuhan adalah imanen dan transenden pada saat yang bersamaan.

Demikian pula dalam jalan bhakti, jalan kesadaran Krishna. Bisa jadi kita terus berdoa, bersembahyang, melakukan segala bentuk sadhana bhakti dengan kesadaran bahwa Krishna adanya nun jauh di sana, di dunia rohani, yang baru akan bisa kita temui dan berinteraksi dalam hubungan-hubungan cinta kasih setelah kita mencapai kesempurnaan, setelah meninggal dunia dan memenuhi syarat untuk memasuki dunia rohani. Sementara pada saat yang sama dalam hidup ini kita gagal merasakan dan melihat Krishna dan cinta kasih kepada Krishna dalam segala hubungan kita dengan sesama penyembah, sesama manusia, sesama makhluk hidup. Krishna hanya ada di awang-awang, atau mungkin sedikit lebih maju, Krishna hanya ada di altar dan hanya hadir saat kita sembahyang…

~~~~~~~~~~~

Ibarat kereta udara membawa aroma wangi dari sumbernya dan langsung memikat indera penciuman, begitu pula, orang yang senantiasa tekun dalam bhakti, dalam kesadaran Krishna, dapat memikat Roh Yang Utama, yang hadir di mana-mana secara merata.

Aku hadir di dalam setiap makhluk hidup sebagai Roh Yang Utama. Apabila seseorang mengabaikan bahwa Roh Yang Utama ada di mana-mana dan ia menyibukkan diri dalam pemujaan Arca di kuil, maka itu hanyalah kepalsuan.

Orang yang memuja Arca Tuhan di kuil tapi tidak mengetahui bahwa Tuhan, sebagai Paramatma, berada di hati setiap makhluk hidup, pasti berada dalam kebodohan dan ia diibaratkan orang yang menghaturkan persembahan ke dalam abu.

Orang yang memperlihatkan sikap hormat kepada-Ku namun iri hati terhadap badan orang lain sehingga ia disebut separatis, tidak pernah mencapai kedamaian pikiran, disebabkan oleh sikap permusuhannya terhadap makhluk hidup lain.

Wahai ibu, orang yang tidak mengetahui kehadiran-Ku di dalam semua makhluk hidup tidak pernah membuat diri-Ku puas dengan pemujaan kepada Arca-Ku di kuil, bahkan jika ia melakukan pemujaan dengan ritual-ritual dan sarana yang benar.

Dengan melaksanakan tugas kewajiban yang ditetapkan baginya, orang hendaknya memuja Arca Personalitas Tuhan Yang Maha Esa sampai ia menginsafi kehadiran-Ku di hatinya sendiri dan juga di hati makhluk hidup lainnya.

Srimad-Bhagavatam, 3.29.20-25

Rabu, 30 Januari 2013

Dunia Ini Berdiri Tegak Tanpa Memerlukan Adanya Para Pembaharu

Dunia ini berdiri tegak tanpa memerlukan adanya para pembaharu. Dunia ini memiliki sosok pribadi yang sangat kompeten untuk mengarahkan segala yang terjadi di dalamnya sampai hal-hal terkecil sekalipun. Orang yang menganggap bahwa ada ruang perbaikan bagi dunia ini maka sesungguhnya dia sendirilah yang memerlukan perbaikan.

Dunia berjalan dengan caranya sendiri yang sempurna. Tidak seorang pun dapat membelokkan arah pergerakannya sebagaimana yang telah digariskan oleh takdir bahkan selebar sehelai rambut sekalipun. Ketika kita mengamati suatu perubahan sedang terjadi seiring terjadinya peristiwa-peristiwa di dunia ini melalui perantaraan individu tertentu, kita harus mengetahui secara pasti bahwa pada tahap mana pun sang perantara tersebut tidaklah memiliki kekuatan tersendiri. Sang perantara tersebut akan menemukan bahwa dirinya sedang diarahkan oleh sebuah kekuatan yang bukan berasal dari dirinya sendiri. Arah pergerakan dunia tidak perlu mengalami perubahan yang disebabkan oleh perantaraan orang mana pun.

Yang diperlukan adalah perubahan cara pandang kita terhadap dunia ini. Perubahan cara pandang tersebut dapat dicapai bagi generasi masa kini atas karunia Sri Chaitanya. Hal ini hanya dapat dimengerti oleh para penerima karunia Sri Caitanya. Kitab-kitab suci menyatakan bahwa yang diperlukan hanyalah mendengarkan nama Krishna dengan pikiran terbuka dari bibir seorang penyembah. Begitu Krishna masuk ke dalam telinga orang yang mendengarkan tersebut, Krishna menjernihkan penglihatannya hingga ia tidak lagi memiliki ambisi apa pun untuk bertindak sebagai pembaharu bagi pihak lain mana pun sebab ia mengerti bahwa tidak ada seorang pun yang tidak sedang dituntun oleh pembimbing tertinggi. Karena itu, pembaharuan dirinya sendiri lah yang terus menerus semakin mampu ia insafi, atas karunia kekal yang tanpa henti dari Tuhan Yang Mahakuasa."

— Dari The Harmonist, Mei 1932, edisi nomor 11. Artikel ini memiliki judul asli “Sree Chaitanya di India Selatan." Hal. 325-326.

Rabu, 23 Januari 2013

Kita Harus Berpikir Untuk Diri Kita Sendiri


Kutipan dari “Bhagavata (Srimad-Bhagavatam), Filosofi, Etika, dan Teologi yang Terkandung di Dalamnya”
Karya Srila Saccidananda Bhaktivinode Thakura

Kita senang membaca buku yang belum pernah kita baca sebelumnya. Kita merasa penasaran untuk dapat mengumpulkan segala informasi yang terkandung di dalamnya dan setelah kita mendapatkannya rasa penasaran kita pun terhenti. Jenis cara studi yang seperti ini sangat umum di kalangan banyak pembaca, yang merupakan tokoh-tokoh besar menurut ukuran mereka sendiri maupun menurut ukuran orang-orang yang termasuk kelompok mereka sendiri. Kenyataannya, kebanyakan pembaca semata-mata hanyalah penampung-penampung segala fakta dan pernyataan yang dibuat oleh orang lain. Namun yang demikian bukanlah studi/pembelajaran.

Seorang siswa hendaknya membaca fakta-fakta dengan sebuah maksud/pandangan untuk mencipta, mengkreasi, dan bukan dengan tujuan untuk sekadar disimpan yang tanpa membuahkan hasil. Siswa-siswa yang ibaratnya satelit-satelit hendaknya memancarkan segala cahaya yang mereka terima dari para penulis dan tidak memenjarakan fakta-fakta dan pemikiran, seperti halnya para hakim memenjarakan para narapidana.

Pemikiran itu bersifat progresif. Pemikiran sang penulis harus mengalami progres (kemajuan) pada diri sang pembaca dalam bentuk koreksi (perbaikan) ataupun pengembangan. Kritikus terbaik adalah dia yang sanggup menampilkan pengembangan lebih lanjut atas sebuah pemikiran lama; sementara orang yang semata-mata hanya meneruskan adalah musuh bagi kemajuan dan karena itu merupakan musuh Alam.

"Mulailah sesuatu yang baru," kata para kritikus, “sebab para pendakwah kuno itu tidak akan memberi jawaban saat ini.” “Biarlah para penulis lama terkubur sebab zaman mereka telah berlalu.” Semua ini adalah ungkapan-ungkapan yang dangkal. Progres (kemajuan) tentu adalah hukum alam dan pasti terjadi koreksi (perbaikan) dan pengembangan seiring dengan kemajuan zaman. Namun progres (kemajuan) berarti pergi lebih jauh atau naik lebih tinggi.

Maka, jika kita mengikuti kritikus bodoh kita di atas itu, kita akan kembali ke ujung pangkal kita sebelumnya, dan kemudian membangun sebuah jalur baru, dan ketika kita telah berlari melewati setengah jalan menelusuri jalur tersebut, kritikus lain yang sejenis itu akan berseru: "Mulailah sesuatu yang baru, sebab jalan yang telah diambil adalah jalan yang salah!" Dengan cara demikian kritikus-kritikus bodoh kita ini tidak akan pernah membiarkan kita menelusuri keseluruhan jalur dan melihat apa yang ada di ujung jalan. Demikianlah para kritikus dangkal dan para pembaca yang tidak produktif adalah dua musuh terbesar kemajuan. Kita harus menghindari mereka.

Seorang kritikus sejati, di pihak lain, menyarankan agar kita mempertahankan apa yang telah kita capai, dan menyesuaikan jalur yang kita telusuri tepat dari titik yang telah kita capai dalam jalan kemajuan kita. Ia tidak akan pernah menyarankan agar kita kembali ke titik awal kita memulainya, sebab ia mengetahui sepenuhnya bahwa jika cara tersebut diambil maka akan terjadi kerugian yang tidak produktif atas waktu dan usaha kita yang sangat berharga. Ia akan mengarahkan penyesuaian sudut arah dari jalur kita tepat pada titik di mana kita sedang berada. Ini juga adalah karakteristik dari seorang siswa yang berdayaguna.

Seorang siswa yang demikian akan membaca karya seorang penulis-purba dan akan menemukan posisi/kedudukan-persis dirinya dalam kemajuan (progres) pemikiran. Ia tidak akan pernah mengusulkan untuk memusnahkan buku karya tersebut dengan alasan bahwa buku tersebut mengandung pemikiran-pemikiran yang tidak berguna.

Tidak ada pemikiran yang tidak berguna. Pemikiran-pemikiran adalah sarana yang memungkinkan kita untuk mencapai tujuan-tujuan kita. Pembaca yang mencela sebuah pemikiran yang buruk tidak mengetahui bahwa sebuah jalan yang buruk sudah tentu dapat diperbaiki dan diubah menjadi sebuah jalan yang baik.

Sebuah pemikiran adalah jalan yang mengantarkan menuju pemikiran berikutnya. Dengan demikian, pembaca akan menemukan bahwa sebuah pemikiran yang menjadi tujuan saat ini akan menjadi sarana-sarana bagi tujuan yang lebih jauh di masa mendatang. Pemikiran-pemikiran pasti akan terus menjadi rangkaian tanpa akhir dari sarana dan tujuan, dalam kemajuan umat manusia.

Tokoh-tokoh besar reformasi akan selalu menegaskan bahwa mereka datang bukan untuk menghancurkan hukum lama melainkan untuk mewujudkannya/ memenuhi maksud dan tujuannya. Valmiki, Vyasa, Plato, Yesus, Muhammad, Confucius dan Chaitanya Mahaprabhu menegaskan kenyataan ini baik melalui ungkapan kata-kata mereka ataupun melalui perilaku mereka.

Bhagavata (Srimad-Bhagavatam), seperti halnya seluruh karya keagamaan dan filsafat serta tulisan tokoh-tokoh besar, telah menerima efek sebagai akibat dari kelalaian para pembaca yang tak berdayaguna dan para kritikus bodoh. Para pembaca yang tak berdayaguna tersebut telah menyebabkan begitu banyak kerusakan terjadi terhadap karya tersebut sehingga efek buruk yang ditimbulkan melampaui efek buruk yang ditimbulkan oleh para kritikus bodoh.

Insan-insan yang memiliki pemikiran-pemikiran yang brilian telah menjumpai karya ini dalam pencarian mereka akan kebenaran dan filosofi, namun prasangka yang mereka serap dari para pembaca yang tak berdayaguna tersebut dan perilaku yang diperlihatkan oleh para pembaca yang tak berdayaguna tersebut telah menghalangi mereka untuk melakukan investigasi/penyelidikan yang jujur dan terbuka.

Dua prinsip menggambarkan karakteristik Bhagavata—kemerdekaan (liberty) dan kemajuan sang jiwa, sepanjang keabadian. Bhagavata mengajarkan kepada kita bahwa Tuhan memberi kita kebenaran sebagaimana Dia memberikannya kepada Vyasa: yakni ketika kita benar-benar mencarinya dengan tulus.

Kebenaran itu kekal dan tak lekang oleh waktu. Jiwa menerima wahyu (revelation) ketika ia benar-benar mencari dan menginginkannya. Jiwa-jiwa para pemikir besar zaman-zaman lampau, yang kini hidup secara rohani, seringkali datang menghampiri semangat (spirit) kita untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan mendampingi dalam mencapai perkembangan. Demikianlah Vyasa didampingi oleh Narada dan Brahma. Shastra-shastra kita, atau dengan kata lain buku-buku hasil pemikiran tersebut, tidaklah mengandung segala yang akan mampu kita peroleh dari Dia Yang Tanpa Batas.
 

Tidak ada kitab/buku yang tanpa kesalahan-kesalahan sama sekali. Wahyu Tuhan adalah kebenaran mutlak, namun ia jarang sekali diterima dan dipertahankan dalam kemurniannya yang alami. Kita telah diberi petunjuk di dalam Skanda 11 Bab 14 dari Bhagavata agar percaya bahwa kebenaran ketika diwahyukan adalah mutlak, namun ia mendapatkan corak sifat yang dimiliki oleh para penerimanya seiring berjalannya waktu dan kemudian mengalami perubahan menuju kesalahan-kesalahan melalui pertukaran tangan dari zaman ke zaman. Karena itu, wahyu-wahyu yang baru terus-menerus diperlukan untuk menjaga kebenaran tersebut tetap dalam kemurnian aslinya. Karena itulah kita diberi peringatan agar berhati-hati dalam melakukan studi terhadap penulis-penulis purba, seberapa pun bijaksananya reputasi mereka.

Kita memiliki kemerdekaan penuh untuk menolak gagasan-gagasan yang keliru, yang tidak dibenarkan oleh kedamaian hati nurani. Vyasa belum puas dengan apa yang telah beliau kumpulkan dari kitab-kitab Veda, yang telah beliau susun di dalam Purana-Purana, dan juga Mahabharata. Kedamaian hati nuraninya tidak mengesahkan segala upayanya tersebut. Hati nuraninya berkata, "Tidak, Vyasa! Engkau tidak bisa puas begitu saja dengan gambaran keliru tentang kebenaran yang telah disajikan kepadamu menurut apa yang dibutuhkan oleh resi-resi zaman purba. Engkau sendiri harus mengetuk pintu gudang kebenaran yang tanpa batas itu , tempat yang menjadi sumber kekayaan resi-resi zaman purba. Pergi, pergilah naik tinggi menuju puncak kebenaran, tempat dimana tidak ada peziarah yang akan bertemu dengan kekecewaan macam apa pun."
 

Vyasa melakukannya dan mendapatkan apa yang beliau inginkan. Kita semua telah disarankan untuk melakukan seperti itu. Maka kemerdekaan (liberty) adalah prinsip yang harus kita pandang sebagai hadiah Tuhan yang paling bernilai. Kita tidak boleh membiarkan diri kita digiring oleh mereka yang telah hidup dan berpikir pada masa-masa sebelum kita. Kita harus berpikir untuk diri kita sendiri dan berusaha untuk mendapatkan kebenaran-kebenaran yang lebih jauh yang masih belum terungkap/ditemukan. Di dalam Bhagavata kita telah disarankan untuk mengambil semangat (spirit) dari shastra dan bukan kata-katanya belaka. Karena itu Bhagavata adalah sebuah agama kemerdekaan, kebenaran yang tak tercampur, dan cinta yang absolut. 

Karakteristik yang lain adalah kemajuan (progres). Kemerdekaan (liberty) tentu adalah bapak dari segala kemajuan. Kemerdekaan suci adalah penyebab dari kemajuan yang mengantarkan naik dan semakin naik menuju keabadian dan kegiatan cinta yang tanpa akhir. Pelanggaran atas kemerdekaan menyebabkan kemerosotan, dan para Vaishnava harus selalu cermat untuk menggunakan hadiah Tuhan yang mulia dan indah ini.

Selasa, 18 September 2012

Laki-Laki atau Perempuan?

Menurut cara pandang Vaishnava, Tuhan tidaklah diatributkan sebagai laki-laki semata (Krishna, Visnu), walau mungkin demikian yang umumnya dipahami. Tuhan menciptakan bentuk-bentuk laki-laki dan perempuan, sehingga pada kedudukan aslinya Tuhan bukanlah laki-laki atau perempuan, namun Tuhan mengambil wujud-wujud laki-laki dan perempuan (avatar) untuk berpartisipasi dalam lila(kegiatan kesenangan/bersenang-senang). Namun disebabkan oleh kompleksitas ajaran-ajaran Vaishnava, seringkali orang keliru memahami apa yang sesungguhnya dimaksud sebagai shakti danshaktiman, dimana seringkali mereka keliru memahami dengan mengira filsafat itu berarti bahwa Tuhan hanyalah shaktiman (bermakna semantik maskulin/laki-laki), sehingga kekuatan-yang-tunduk-kepada-Nya, atau shakti-Nya (bermakna semantik feminin/perempuan), adalah berbeda dengan Tuhan. Pemahaman yang otentik menyebutkan bahwa Tuhan adalah keduanya, shakti dan shaktiman. Dinyatakan secara konstan dalam Vaishnava Vedanta bahwa tidak ada perbedaan antara kekuatan (energi) Tuhan dan Tuhan-sendiri-sang-pengendali-kekuatan (sumber energi), yakni bahwa shakti danshaktiman adalah identik, atau dua aspek dari sosok yang sama. Kekuatan (energi) Tuhan dan Tuhan-sendiri-sang-pengendali-kekuatan (sumber energi) adalah dua aspek dari keseluruhan Tuhan. Oleh karena pemaknaan jender digunakan untuk menjelaskan tentang shakti dan shaktiman (karena pada umumnya laki-laki lebih kuat daripada perempuan), seringkali orang memahami penggunaan semantik itu secara terlalu harfiah—yang berujung pada gagasan bahwa Tuhan adalah laki-laki. Yang diajarkan sesungguhnya adalah bahwa Tuhan memiliki dua aspek, yakni kekuatan (energi) Tuhan, atau shakti, dan pengendali kekuatan itu (sumber energi), atau shaktiman....

Selasa, 04 September 2012

Pemikiran-Pemikiran Kita. Dari mana kah datangnya?


Istilah free will dalam Bahasa Inggris memiliki beberapa definisi namun definisi yang paling umum digunakan dan yang paling umum dimaksudkan sebagai free will itu adalah sebagaimana yang terdapat dalam Oxford English Dictionary berikut ini: The power to act without the constraints of necessity or fate; the ability to act at one’s own discretion, atau terjemahan bebasnya dalam Bahasa Indonesia: kekuatan/kemampuan/daya untuk bertindak tanpa kendala/batasan kebutuhan atau takdir; kemampuan untuk bertindak atas kehendak sendiri. Sastra-sastra Veda mengajarkan bahwa kita tidaklah memiliki free will sebagaimana yang dimaksud menurut definisi di atas. Diajarkan bahwa kita dibatasi oleh sifat bawaan dan karma kita. Sifat dasar sang jiva (roh/atma) diajarkan oleh Krishna di dalam Bhagavad-gita (9.10):

mayadhyakshena prakritih
suyate sa-caracaram
hetunanena kaunteya
jagad viparivarttate

Prakriti (yakni segala sesuatu di alam semesta/energi sub-atomik) bekerja di bawah pengawasan-Ku, mayadhyakshena prakritih, mengendalikan sepenuhnya seluruh ciptaan, suyate sa-caracaram. Demikianlah bagaimana alam semesta ini bekerja wahai putra Kunti, hetunanena kaunteya jagad viparivarttate.

Bhagavad-gita 13.30:

prakrityaiva ca karmani
kriyamanani sarvasah
yah pasyati tathatmanam
akarttaram sa pasyati

Segala kegiatan yang terjadi, dalam segala keadaan, adalah dilakukan oleh prakriti, prakrtyaiva ca karmani kriyamanani sarvasah. Orang yang melihat, yah pasyati, bahwa atma bukanlah sang pelaku, atmanam akarttaram, dialah yang melihat dengan sebenarnya, sah pasyati.

Setelah menyabdakan hampir seluruh ayat Bhagavad-gita kita sampai pada beberapa sloka terakhir dimana Krishna meringkas ajaran-Nya kepada Arjuna. Bhagavad-gita dimulai dengan pernyataan Arjuna bahwa ia tidak akan mau bertempur. Setelah berbicara tentang sifat sejati atman dalam hubungan dengan Param Atman, Krishna mengakhiri dengan menyampaikan sebagai berikut kepada Arjuna (18.59-61):

yad ahankaram asritya
na yotsya iti manyase
mithyaiva vyavasayas te
prakritis tvam niyokshyati

Engkau berpikir bahwa engkau tidak mau bertempur, na yotsya iti manyase. Tapi itu terjadi disebabkan oleh pemahaman yang keliru tentang diri sejatimu dan tentang realitas yang sejati, yad ahankaram asritya. Ketetapan hati yang demikian adalah sia-sia, mithyaiva vyavasayas te, sebab prakriti akan menggerakkanmu (membuatmu bertempur), prakritis tvam niyokshyati.

svabhava-jena kaunteya
nibaddhah svena karmana
kartum necchasi yan mohat
karishyasy avaso ‘pi tat

Kehendakmu untuk tidak bertindak adalah ilusi, kartum necchasi yan mohat. Karena telah terikat oleh tindakan, nibaddhah svena karmana, yang muncul dari sifat aslimu wahai putra Kunti, svabhava-jena kaunteya, dalam keadaan yang sesungguhnya tak berdaya, engkau akan bertindak juga, karishyasy avaso ‘pi tat.

isvarah sarva-bhutanam
hrid-dese ‘rjuna tishthati
bhramayan sarva-bhutani
yantrarudhani mayaya

Sang Pengendali Tertinggi ada di hati semua makhluk wahai Arjuna, isvarah sarva-bhutanam hrid-dese ‘rjuna tishthati, mengatur pergerakan semua makhluk, bhramayan sarva-bhutani, yang duduk di atas mesin yang terbuat dari energi-Nya, yantrarudhani mayaya.

Bahkan jika kita tidak mengakui versi-versi sastra Veda tentang realitas sejati ini, melalui logika dan analisis dapat diperlihatkan bahwa kita tidak memiliki free will:

Bagaimanakah caranya diri kita membuat keputusan-keputusan dan kemudian bertindak menjalankan keputusan-keputusan tersebut? Tindakan-tindakan yang kita lakukan seolah-olah ditentukan 1) melalui proses mengikuti pemikiran-pemikiran yang timbul di benak kita 2)  melalui tindakan refleks yang spontan dan 3) melalui kombinasi dari keduanya (1 dan 2):

1) Jika saya memutuskan untuk menghidupkan komputer saya lalu menulis blog, tindakan tersebut nampak seolah ditentukan oleh pemikiran-pemikiran saya. Saya berpikir bahwa saya telah memutuskan untuk melakukan sesuatu dan kemudian saya melakukannya dengan cara mengikuti pemikiran-pemikiran yang terus timbul di benak saya.

2) Ketika saya menulis blog ini, jika tanpa sengaja kaki saya menendang meja dan kemudian segelas air di atas meja hendak tumpah, tanpa berpikir terlebih dahulu saya akan berusaha menangkap gelas itu sebelum ia tumpah. Ini adalah gerakan refleks.

3) Ketika saya menulis blog ini, pilihan tombol-tombol keyboard yang saya tekan adalah berdasarkan pada pemikiran-pemikiran saya, tetapi saya tidak memberitahu jari jemari saya untuk mengetik. Saya berkeinginan untuk mengetik dan nampak seolah jari-jemari saya bertindak di bawah kekuatan mereka sendiri seiring dengan munculnya kata-kata di dalam pikiran saya yang hendak saya ketikkan. Tindakan saya mengetik kata-kata tersebut adalah gabungan dari pemikiran dan gerakan refleks.

Nampak seolah-olah pemikiran-pemikiran saya lah yang menyebabkan sebagian besar tindakan-tindakan saya. Namun dapat ditunjukkan secara logis bahwa kita tidaklah mengendalikan pemahaman akan pemikiran-pemikiran kita:

Bagaimanakah sesungguhnya kita mengalami pemikiran-pemikiran kita? Pemikiran-pemikiran muncul baik sebagai kata-kata atau dialog kata-kata di dalam pikiran kita. Terasa seolah kita mendengar pemikiran-pemikiran tersebut. Pemikiran-pemikiran kita itu nampak seolah adalah sejenis suara namun tanpa tersusun atas gelombang-gelombang suara. Kita mendengar pemikiran-pemikiran kita dengan cara yang berbeda dengan bagaimana kita mendengar gelombang-gelombang suara melalui telinga. Ketika kita mendengar suara melalui telinga maka suara itu harus tercipta melalui sebuah vibrasi/getaran yang menyebabkan perubahan keseimbangan pada sebuah medium, misalnya udara ataupun air. Kemudian telinga menangkap vibrasi tersebut. Ketika kita menekan sebuah tombol piano maka vibrasi yang tercipta di udara menciptakan gelombang-gelombang suara, yang kemudian menggetarkan gendang telinga dan memungkinkan kita untuk mendengar suara yang dihasilkan tersebut.

Sementara, apa yang menyebabkan timbulnya suara pemikiran-pemikiran kita? Apakah diri kita yang merupakan penyebab suara-suara pemikiran tersebut? Jika demikian, bagaimana kita melakukannya? Kita tidak tahu. Yang kita ketahui hanyalah bahwa pemikiran-pemikiran muncul di dalam pikiran dan kita bisa mendengarnya dan biasanya kita meyakini bahwa kita lah yang menyebabkan pemikiran-pemikiran itu muncul. Namun kenyataannya kita tidaklah tahu bagaimana proses untuk membuat pemikiran-pemikiran itu timbul.

Adakah yang bisa memberitahu proses apakah yang terjadi yang terbukti memberi kita kendali atas pemikiran-pemikiran yang muncul di benak kita? Kita tidak tahu proses apa yang terjadi dan di mana proses itu terjadi. Karena itulah kita tidak dapat mengatakan bahwa kita tahu bagaimana cara mengendalikannya. Pemikiran-pemikiran muncul di dalam pikiran kita dan kita tidak punya gagasan yang dapat dibuktikan tentang bagaimana hal tersebut terjadi. Mengapa kita harus meyakini bahwa kita memiliki kendali atas pemikiran-pemikiran kita jika kita tidak mengetahui bagaimana sesungguhnya proses untuk menciptakan dan mengendalikan pemikiran itu terjadi?

Bagaimanakah cara kita untuk mengerti pemikiran-pemikiran kita? Pemikiran-pemikiran mengalir melalui pikiran dalam bentuk satu atau beberapa jenis bahasa. Bagaimanakah cara kita memahami bahasa-bahasa? Bagaimana cara kita mengetahui makna dari kata-kata dan juga tata bahasa? Misalkan saya mengalami sebuah pemikiran: Saya hendak memasak nasi—bagaimana cara saya memahami apa artinya kata nasi itu? Orang mungkin akan menjawab bahwa saya telah menjalani pengalaman pembelajaran terhadap kata-kata tersebut. Sekarang saya telah mengerti arti kata-kata tersebut sebab saya mengingat apa yang telah saya pelajari. Terdengar masuk akal. Tetapi, bagaimanakah caranya saya mengingat? Bagaimanakah caranya ingatan akan arti kata-kata tersebut menjadi saya ketahui saat ini?

Saya mengetahui melalui ingatan akan pengalaman sebelumnya bahwa kata nasi berarti biji dari tumbuhan padi. Di mana kah tempat tersimpannya ingatan akan kata nasi itu dan bagaimana caranya kemudian ingatan itu menjadi tersedia bagi saya? Bagaimana pun caranya hal itu terjadi, yang pasti adalah bahwa saya mengetahui satu hal: saya tahu bahwa saya tidak memiliki kendali atas bagaimana pengalaman-pengalaman masa lalu saya tersimpan atau dibuat menjadi tersedia bagi saya sebagai ingatan saya. Kemampuan untuk mengendalikan ingatan tersebut berada di luar kendali saya. Sebagai contoh: Jika saya meminta agar Anda menjelaskan alur cerita sebuah film yang baru saja Anda saksikan, maka apakah yang Anda kerjakan untuk menemukan ingatan tentang film itu ketika Anda berusaha untuk menceritakan kembali apa yang Anda lihat di dalam film itu? Tidak ada satu hal pun yang dapat kita lakukan. Kita tidak tahu di mana atau bagaimana menemukan sebuah ingatan. Ingatan itu muncul begitu saja di dalam pikiran. Anda tidak mencarinya sebab Anda tidak tahu di mana dan juga bagaimana caranya melakukan pencarian. Bagaimana pun caranya ingatan kita berfungsi, yang jelas adalah bukan disebabkan oleh kendali kita atas ingatan-ingatan tersebut.

Apa yang dapat kita simpulkan?:

1) Untuk dapat memahami pemikiran-pemikiran kita, kita memerlukan ingatan untuk mengerti bahasa dari pemikiran-pemikiran kita.

2) Kita tidak mengendalikan ingatan.

3) Kita tidak tahu tersusun atas “suara” apakah pemikiran-pemikiran kita, dan kita juga tidak tahu bagaimana menciptakan dan mengendalikan suara pemikiran tersebut. Karena itu kita sesungguhnya tidak mengetahui bagaimana pemikiran-pemikiran kita muncul.

4) Pemikiran-pemikiran muncul di dalam pikiran kita tanpa kita mengetahui bagaimana menciptakan ataupun mengendalikannya, atau bahkan apa sesungguhnya pemikiran itu kita tidak tahu. Ingatan memungkinkan kita untuk mengerti bahasa dari pemikiran-pemikiran kita. Kita mengerti bahasa dari pemikiran-pemikiran kita tanpa kita sendiri mengendalikan ataupun mengerti bagaimana cara berfungsinya ingatan kita.

5) Jika kita melakukan tindakan-tindakan yang berdasarkan pada pemikiran-pemikiran kita–dapat diperlihatkan bahwa kita bukanlah yang mengendalikan tindakan-tindakan kita sebab kita tidak tahu bagaimana mengendalikan terciptanya maupun proses pemahaman terhadap pemikiran-pemikiran kita.

Jadi bahkan jika kita tidak mempercayai sastra ketika dijelaskan bahwa kita tidak memiliki free will, ketika dijelaskan bahwa Paramatma mengendalikan kita dengan cara menjalankan fungsi sebagai pikiran kita dan mengendalikan pikiran kita, tetap saja masih dapat diperlihatkan melalui analisis logis bahwa kita tidaklah mengendalikan proses pemikiran kita. Karena itu, kita tidak memiliki kendali atas tindakan-tindakan atau kehendak-kehendak kita.

Akan banyak yang beragumen: Kita pasti memiliki free will. Jika tidak demikian bagaimana mungkin kita memiliki karma? Bagaimana mungkin kita tetap dituntut bertanggungjawab atas pilihan-pilihan kita jika kita tidak memiliki free will?

Sastra dan analisis logis menjelaskan kepada kita bahwa kita tidak memiliki free will, yakni kekuatan/kemampuan/daya untuk bertindak tanpa kendala/batasan kebutuhan atau takdir; kemampuan untuk bertindak atas kehendak sendiri.

Kita memiliki kemampuan bawaan untuk menginginkan, tetapi bukan free will untuk melaksanakan keinginan tersebut. Bhakti adalah soal menyucikan keinginan melalui dihancurkannya avidya (kebodohan/keadaan tidak berpengetahuan) dan ahankara (keakuan palsu). Kita tidak memiliki free will untuk memilih jalan apa yang akan kita lalui dalam segala yang kita lakukan atau alami. Disebabkan oleh keinginan kita untuk menjadi bebas tersendiri dari realitas tentang bagaimana sesungguhnya keberadaan kita, disebabkan oleh keinginan kita untuk tidak menjalani hidup di bawah kendali pihak lain (Tuhan), kita akhirnya ditempatkan dalam sebuah keadaan dimana berangsur-angsur kita akan menyucikan keinginan kita. Kita tidak memiliki pilihan lain selain berada di bawah kendali pihak lain. Kita benar-benar tidak bisa memiliki keberadaan yang tanpa berada di bawah kendali Tuhan. Kita bergantung sepenuhnya kepada Tuhan dalam hal kemampuan kita untuk menjalankan fungsi sebagai makhluk yang berkecerdasan. Kita tidak mampu mengendalikan pemikiran-pemikiran kita, ingatan kita, tindakan-tindakan kita. Kita benar-benar tidak memiliki kemampuan seperti kemampuan yang dimiliki Tuhan untuk memiliki keberadaan secara bebas tersendiri.

Sang jiva akan terus mengalami kelahiran demi kelahiran dalam keadaan disesatkan oleh avidya dan ahankara sampai keinginan mereka disucikan. Keinginan mereka membentuk tindakan-tindakan mereka, bukan atas free will mereka sendiri, melainkan atas will dari Paramatma dalam memutuskan apa yang pelu dialami sang jiva untuk dapat terbebas dari sikap penolakan terhadap kendali Tuhan. 

Karma jauh lebih kompleks daripada apa yang sering dipikirkan orang. Seringkali karma dipandang secara sederhana sebagai aksi-reaksi—jika kita berbuat buruk maka kita akan dihukum. Realitasnya adalah bahwa karma didesain untuk menyucikan keinginan sang jiva. Karma bukan soal pembalasan dendam, melainkan adalah soal mengubah sikap penolakan menjadi penerimaan terhadap pengendalian Tuhan. Penyebab jiva menjadi tunduk di bawah hukum karma dan samsara adalah karena jiva tidak ingin menerima realitas dari keberadaan sejatinya yang adalah bagian dari Tuhan dan berada di bawah kendali Tuhan.